KONFRONTASI- Terlepas dari kekecewaan kepada proses perubahan aturan main pemilu oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan terakhir kekecewaan terhadap putusan akhir perselisihan hasil pilpres oleh MK, yang pasti kemarahan emosional di kalangan elit dan tokoh-tokoh nasional yang luas pada proses dan hasil pilpres 2024, dapat dijadikan momentum untuk permbenahan, perbaikan, dan bahkan penataan sistem etika berbangsa dan bernegara di masa mendatang.
Demikian pandangan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie dalam seminar yang diselenggarakan oleh Paramadina Institute of Ethics and Civlization (PIEC), Universitas Paramadina, di Hotel Ambara Jakarta.
'' Lupakanlah kekecewaan terhadap apa yang sudah terjadi. Pilpres 2024 sudah berakhir dan hasilnya sudah ditetapkan final. Marilah kita pusatkan perhatian ke depan untuk memperbaiki apa saja yang salah dan tidak baik di masa lalu untuk kemajuan peradaban demokrasi kita di masa mendatang,'''kata Jimly
Menurutnya, dalam sejarah politik Indonesia, belum pernah muncul gelombang kemarahan yang demikian luas di kalangan elit intelektual dan para tokoh-tokoh bangsa yang diekspresikan demikian emosionalnya, tidak jauh berbeda dari emosi yang biasa diperlihatkan oleh orang awam biasa, seperti yang terjadi dalam kaitannya dengan pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden tahun 2024.
'' Jika yang biasanya berunjuk rasa adalah mahasiswa, dalam merespon proses dan hasil pemilihan presiden 2024, yang justru ramai berdemonstrasi adalah para guru besar yang berunjuk rasa di lingkungan perguruan tinggi masing-masing dan bahkan ada yang secara resmi menggunakan toga kebesaran sebagai guru besar,''katanya.
Jimly melihat, yang menjadi pusat kemarahan tidak lain terkait penentuan Gibran Rakabumingrka sebagai cawapres pendamping bagi capres Prabowo Soebijanto yang kemudian berhasil memenangkan konstasi politik dalam pemilihan presiden. Hal ini dikaitkan dengan (i) isu etika, dan (ii) persoalan nepotisme dan politik dinasti yang dipertontonkan selama proses pemilihan presiden 2024.