KONFRONTASI– Musim dingin Februari 2018, saya masih menggigil, dan harus cepat-cepat berjalan kaki ke KITLV Leiden. Mau 'silaturahmi', ketemu Sejarawan Pak Harry A Poeze yang menulis buku tentang Tan Malaka, sang hero yang terkemuka dengan pemikirannya, Madilog. Beberapa tahun lalu, beliau pernah memberi ceramah di kampus kami, Universitas Paramadina, Jakarta, mengenai Pemberontakan PKI Musso di Madiun 1948.
Sejarah mencatat bahwa Madilog ditulis oleh Iljas Hussein (nama pena Tan Malaka), pertama kali diterbitkan pada tahun 1943, edisi pertama resmi tahun 1951, adalah magnum opus dari Tan Malaka, sang pahlawan nasional Indonesia dan merupakan karya paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Indonesia modern.
Madilog adalah akronim bahasa Indonesia yang merupakan kependekan dari Materialisme Dialektika Logika. Ini adalah sintesis materialisme dialektis Marxis dan logika Hegelian. Madilog ditulis di Batavia di mana Tan Malaka bersembunyi selama pendudukan Jepang di Indonesia, menyamar sebagai tukang jahit. Tan memang tokoh pergerakan yang heroik tapi misteri. Harry Poeze untuk sebagian besar telah membuka misteri itu secara "rigorous", mendalam, teliti dan hati hati.
***
''Dalam konteks kekinian, Indonesia butuh pemimpin nasional yang tangguh, mumpuni, mampu memahami dan mewujudkan aspirasi rakyat dan cita-cita bangsa serta kepentingan nasionalnya, seperti dulu yang dilakukan oleh Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan para pejuang kemerdekaan lainnya yang memimpin bangsa Indonesia mencapai Proklamasi 1945 dan memulai menata dan memodernisasinya dengan membangun karakter, bangsa dan negara.''
Demikian kata Prof Harry Poeze dalam dialog dengan Herdi Sahrasad dosen/peneliti senior Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina dan Universitas Muhammadiyah Jakarta serta peneliti muda Lutfi Adam (kandidat PhD ilmu sejarah di Northwestern Univerity, AS) di ruang Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Leiden KITLV di Leiden, Netherlands, Februari 2018
‘’Dan itu sangat penting. Indonesia memang butuh pemimpin yang tangguh,’’ ujar Harry.
Harry juga mengatakan, dirinya tentu saja mengenal nama Rizal Ramli (RR) dan nama nama tokoh bangsa lainnya. “Saya tahu dia seorang tokoh nasional yang populer dan punya pemikiran/gagasan,’’ujarnya. ‘
‘’Saya pikir Indonesia Indonesia butuh pemimpin nasional yang mampu memahami dan mewujudkan aspirasi rakyatnya, seperti dulu yang dilakukan oleh Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan para pejuang lainnya yang memimpin bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan dan memulai menata dan memodernisasinya dengan membangun karakter, bangsa dan negara, Dan itu sangat penting. Indonesia memang butuh pemimpin yang tangguh,’’kata Harry.
Sejarawan kajian Indonesia dan Asia Tenggara itu sangat ramah dan menjadi tempat bertanya sekaligus sang Bapak bagi para mahasiswa, ilmuwan dan peneliti muda Indonesia yang belajar di Leiden dan kampus Belanda lainnya,bahkan para mahasiwa dan peneliti universitas manca negara lain yang mampir/singgah di Leiden.
Harry Poeze riset selama 40 tahun lebih mengenai Tan Malaka, maka tak mengherankan kalau Harry Poeze identik dengan sosok Tan Malaka. Dialah sejarawan Belanda yang paling menguasai kisah hidup aktivis politik revolusioner dalam sejarah Indonesia itu. Namun di balik ramainya diskusi Tan Malaka akhir-akhir ini, tak banyak yang mengetahui kisah hidup Harry Poeze.
Pertemuan historis Harry dengan Tan Malaka bermula semenjak dia mahasiswa jurusan ilmu politik di Universitas Amsterdam. Saat itu Harry mengikuti kuliah sejarah Indonesia yang diampu oleh Profesor Wim Wertheim, salah satu sosiolog dan ahli Indonesia yang sangat terkenal. Persentuhannya dengan sejarah Indonesia membuatnya tertarik untuk membaca buku Kemunculan Komunisme Indonesia karya Ruth T. McVey.
Harry menulis buku biografi Tan Malaka sepanjang 3000 halaman yang tahun lalu diluncurkan, dan dia mengelola/menyimpan bertumpuk dokumen arsip-arsip Tan Malaka, dan di saat mayoritas warga-warga pribumi kurang mengenal sosok Tan Malaka, Harry Poeze hadir sebagai penguak misteri tokoh Tan Malaka. September 2009 lalu, ia bersama rekannya berhasil menemukan makam Tan Malaka, di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur.
Harry berkisah bahwa setelah menyimak garis besar dari riwayat Tan Malaka yang sangat luar biasa, dia tertarik menelitinya.
‘’Kemisteriusan beliau, yang membuat saya tertarik untuk meneliti," kata Harry pada pers ketika jumpa pers sekian tahun silam terkait perkembangan hasil DNA Tan Malaka, di Wisma Shalom, Jl Kramat Pulo, Jakarta, Senin (9/1/2012).
Harry yang lulusan Amsterdam Universiteit ini, mengaku tidak puas jika hanya meneliti sosok Tan Malaka dari kejauhan. Akhirnya, pada tahun 1976, Harry menapakkan kakinya di tanah Jawa. Kala itu, rezim Orde Baru Pak Harto sedang berkuasa, sulit sekali mencari informasi tentang Tan Malaka, karena ia dianggap tokoh aliran kiri radikal yang saat itu masih dianggap tabu.
Dia berkisah, pada kunjungan ke Indonesia, dia tidak pernah menulis nama Tan Malaka dalam visanya. ''Seandainya saya tulis, mungkin penelitian saya tidak akan pernah terjadi karena Orde Baru sangat menutup informasi tentang Tan Malaka," papar Harry.
Prof Harry, dari apa yang anda cari, barangkali kami temukan rekam jejak sejarah yang bernilai dan bermakna, seperti pesan Bung Karno,''Jas Merah'' : Jangan sekali sekali meninggalkan sejarah! ''
Terimakasih .
(Catatan kecil Herdi Sahrasad, dosen Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina, kilas balik/ berbagai sumber/kf)
COMMENTS