Oleh: Yudi Latif
OPINI - Buku "Apa Jadinya Dunia tanpa Indonesia?" dipersembahkan bagi siapa pun yang terpanggil untuk memahami sejarah panjang kealaman, kemanusiaan, dan peradaban Nusantara sebagai taman sari dunia dan akar jati diri bangsa. Ia menyapa pembaca umum, pelajar, dan mahasiswa, sekaligus relevan dalam konteks nation building, diklat kepemimpinan, pendidikan bela negara, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan.
Selama ini, wawasan kebangsaan cenderung ditempatkan dalam bingkai ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Buku ini hadir untuk menawarkan perspektif berbeda: bahwa seluruh disiplin ilmu dan ranah kehidupan—dari sains hingga seni, dari alam hingga kebudayaan—dapat menjadi wahana untuk menumbuhkan rasa kebangsaan dan kewargaan.
Lebih jauh, buku ini juga diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi para pendidik. Dalam mengajarkan ilmu apa pun, kontekstualisasi dengan potensi dan realitas keindonesiaan hendaknya selalu disisipkan, sehingga peserta didik dapat menautkan kecintaan pada ilmu dengan kecintaan pada tanah air—sebagai satu tarikan nafas yang utuh.
Bagi para pembaca di luar Indonesia, buku ini dapat menjadi jendela untuk melihat bahwa peradaban dunia tidak pernah dibangun oleh satu bangsa atau satu kawasan semata. Ia selalu lahir dari perjumpaan, pertukaran, dan sumbangan lintas bangsa. Dengan menyingkap sumbangsih Indonesia yang kerap terabaikan, buku ini mengajak masyarakat dunia untuk lebih menghargai prinsip saling memahami, saling mengakui, dan saling menumbuhkan—sebuah etos yang amat dibutuhkan demi lahirnya dunia baru yang lebih inklusif, setara, dan berkeadaban.
Melalui 22 bagian, buku ini menguraikan betapa luas dan dalamnya signifikansi Indonesia bagi dunia. Dengan melintasi beragam bidang dan disiplin ilmu, buku ini merangkai sebuah mosaik yang utuh: potret signifikansi alam, manusia, dan peradaban Indonesia bagi dunia. Sebuah mosaik yang bukan hanya memperdalam wawasan Nusantara, melainkan juga meneguhkan rasa percaya diri kolektif: jika di tanah air yang sama leluhur Nusantara pernah menjadi bangsa pelopor, mengapa generasi hari ini tidak dapat mengulanginya, bahkan melampauinya, untuk menyalakan fajar peradaban baru?
COMMENTS