JAKARTA- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai keputusan negara anggota Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) mengenai reformasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sangat penting bagi kegiatan dagang multilateral berkeadilan.
“Menurut saya (WTO) masih belum fair. Seharusnya (WTO) tidak hanya melihat dari kepentingan negara tertentu saja, tapi juga negara produsen,” kata Esther saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Salah satu sorotan dari pernyataan bersama (joint statement) para pemimpin RCEP dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 ASEAN yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, adalah soal reformasi WTO.
Dikatakannya, reformasi WTO itu perlu dijalankan agar tetap bisa menjadi fondasi sistem perdagangan multilateral yang terbuka, transparan, adil dan berbasis aturan yang menjamin prediktabilitas dan nondiskriminasi bagi semua mitra dagang.
“Kami menggarisbawahi bahwa integrasi regional yang diupayakan dalam kerangka sistem perdagangan multilateral, dengan WTO sebagai intinya, merupakan hal yang fundamental bagi stabilitas ekonomi, ketahanan, dan kesejahteraan jangka panjang kawasan ini," demikian pernyataan tersebut.
Disebutkannya, pentingnya reformasi WTO yang ambisius untuk memastikan organisasi tersebut dapat memenuhi kepentingan semua anggota dengan lebih baik.
Lebih lanjut, Esther mengatakan dengan reformasi organisasi yang lebih berkeadilan, diharapkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia sebagai produsen beragam komoditas, bisa menjalankan kegiatan perdagangan internasional dengan lebih adil, sehingga berdampak pada perekonomian lokal, nasional, dan regional.
Sependapat, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara menilai reformasi WTO diperlukan demi menjaga kepercayaan negara-negara anggota terhadap rule-based trading system.
“Soal WTO memang perlu ada reformasi, karena saat ini ada ketidakpercayaan terhadap rule-based trading system. Jadi sistem yang terkelola dengan baik dan berpihak pada negara-negara produsen, negara-negara berkembang. Apalagi melihat Indonesia kalah, ya, misalnya dalam berbagai sengketa yang merugikan kepentingan Indonesia,” kata Bhima.
“Kalau tidak dilakukan reformasi WTO, maka banyak negara yang melakukan proteksionisme. Banyak negara yang tidak percaya terhadap sistem perdagangan multilateral, dan itu akan merugikan perdagangan dunia,” ujarnya menambahkan.
Sementara itu, selain reformasi WTO, hasil dari RCEP Summit ke-5 di Kuala Lumpur, Malaysia, juga menyoroti sejumlah hal lain untuk memajukan perekonomian kawasan Asia Tenggara.
Beberapa di antaranya adalah mendorong perekonomian lokal sebagai salah satu upaya setiap negara menghadapi ketidakpastian global, hingga target jangka pendek dan panjang termasuk pemerataan ekonomi di daerah tertinggal, upaya menghadapi krisis iklim, serta transformasi digital. I tar
COMMENTS