Oleh: Yudi Latif
OPINI - Saudaraku, delapan dekade lebih sudah penjajah menyingkir dari tanah ini. Namun, bayang-bayangnya masih menetap di dalam kepala kita—seperti asap yang menggumpal di ruangan tertutup, meski api telah lama padam.
Warisan paling getir dari kolonialisme bukan sekadar genangan darah atau tandasnya sumber daya. Yang paling menyakitkan justru yang tak kasat mata: perbudakan jiwa. Penjajahan senyap yang menyusup ke relung terdalam—merampas kejernihan akal, mencabut kedalaman rasa, mematikan manusia di pusat jatidirinya.
Mental-kejiwaan adalah mata air kesadaran—dari sanalah mengalir ingatan, luka, harapan, arah, dan kehendak. Namun di bawah genggaman kuasa penjajah, mata air itu menjadi keruh. Kita dijauhkan dari sumber asal, dikeringkan dari percaya, dan tercampakkan dari tanah tempat tumbuh.
Penjajahan boleh usai, tetapi residunya menetap dalam bentuk kesadaran yang tak utuh. Bangsa ini—meski merdeka di atas kertas—masih kerap kehilangan wajahnya di cermin. Kita sering lupa diri, ragu pada kemampuan, dan gentar untuk berdiri sendiri.
Maka, jiwa yang tak merdeka pun gamang: tak tahu ke mana, tak mampu menentukan bagaimana. Dalam kegamangan itu, lahirlah dua wajah dari jiwa terjajah.
Yang satu menjadi peniru: menyalin gerak tuannya, menengadah ke langit asing, melupakan bumi sendiri. Dalam bayang-bayang itu, ia menjadi konformis yang menanggalkan daya cipta, menjadi gema yang abai pada rasa dan harga diri.
Yang lain menjadi penurut: bukan hanya meniru, tapi menyerahkan kendali jiwa. Ia menjelma hamba bagi kehendak luar, mengorbankan pilihan demi rasa aman palsu. Dari tanah ini tumbuh benih pecundang dan tiran—jiwa-jiwa yang rela dikendalikan demi kelangsungan yang semu.
Kemerdekaan sejati tak cukup diproklamasikan. Ia harus diperjuangkan—dalam benak dan tindakan, pilihan dan pendirian. Kita mesti terus belajar menjadi merdeka: mengenali diri, menjaga martabat, dan menempuh jalan meski tanpa petunjuk tuan.
Sebab merdeka bukan hanya soal lepas dari belenggu, tetapi keberanian menyalakan obor dalam diri, bersuara dengan lidah sendiri, melangkah dengan kaki sendiri, dan berdiri tegak di tanah keyakinan—meski dunia menoleh ke arah lain.
COMMENTS