Oleh: Dhuha Hadiyansyah*
OPINI - Pesantren telah lama diposisikan sebagai lembaga suci yang mencetak generasi berilmu, bermoral dan berakhlak mulia, yang siap mengemban otoritas di berbagai bidang, terutama pada institusi agama. Artikel ini berupaya memetakan beragam problematika yang sering dikesampingkan karena dianggap tabu untuk dibahas. Padahal, isu ini sangat krusial bagi pendidikan. Tulisan ini tentu saja untuk mendorong refleksi kritis terhadap tata kelola pesantren, demi menciptakan lingkungan pendidikan yang benar-benar sehat, aman, dan bermartabat bagi generasi muda.
1. Sanitasi Lingkungan dan Skabies di Pesantren
Penyakit skabies atau kudis menjadi masalah kesehatan klasik yang serius di lingkungan sejumlah pesantren di Indonesia. Penelitian 20 tahun lalu oleh Notobroto et al. (2005) mencatat praktik tak sehat ini di sejumlah pondok pesantren di Kabupaten Lamongan. Temuan menunjukkan bahwa mayoritas pondok, termasuk asramanya, memiliki kondisi sanitasi yang buruk. Prevalensi skabies di lingkungan tersebut mencapai 48,81%. Faktor-faktor utama yang memengaruhi tingginya angka ini adalah kebersihan kamar tidur, ventilasi ruangan, kebersihan pribadi, serta perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang diterapkan oleh para santri.
Temuan serupa, pada penelitian lebih baru, diperoleh Mayrona et al. (2018) di Pondok Pesantren Matholiul Huda Al Kautsar, Kabupaten Pati. Dari 46 santri yang diteliti, sebanyak 84,8% menderita skabies. Sebagian besar dari mereka (67,4%) memiliki praktik sanitasi lingkungan yang buruk. Analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara praktik sanitasi dengan kejadian skabies (p = 0,029). Meskipun nilai Prevalence Ratio (PR) sebesar 0,7 menunjukkan hubungan yang moderat, hasil ini tetap menegaskan pentingnya peran kebersihan lingkungan dalam mencegah penyebaran skabies di pesantren.
Skabies sebagai penyakit kulit yang sangat menular, memerlukan pendekatan pencegahan yang terintegrasi, mencakup perbaikan fasilitas fisik seperti ventilasi dan kamar tidur, serta pembiasaan perilaku hidup bersih di kalangan santri. Intervensi yang berbasis pada hasil riset ini penting untuk menurunkan angka prevalensi skabies dan meningkatkan kualitas hidup santri di pesantren.
2. Bully dan Budaya Kekerasan
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus kekerasan antarsantri mencuat dan merenggut nyawa remaja di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembinaan moral. Kasus tragis di Pondok Pesantren Darul Qur’an Lantaburo, Tangerang, pada Agustus 2022 misalnya, menewaskan RAP (13) usai dikeroyok 12 santri lainnya. Motifnya sepele: korban dianggap tidak sopan karena membangunkan senior dengan kaki.
Kekerasan juga terjadi di Pondok Pesantren Daar El Qolam, Tangerang, yang berujung pada tewasnya BD (15) setelah perkelahian karena tersinggung oleh sikap temannya karena tersenggol di kamar mandi (https://www.kompas.id/baca/metro/2022/08/08/seorang-santri-tewas-ditangan-santri-lain-di-tangerang). Dalam kasus lain di Kabupaten Bandung, AN, seorang santri, tewas dibacok oleh temannya sendiri setelah diduga melakukan percobaan asusila dan menyerang santriwati.
Deretan kasus ini menunjukkan bahwa kekerasan tidak terjadi secara kebetulan. Kekerasan di institusi pendidikan lahir dari sistem pengasuhan yang permisif terhadap relasi kekuasa informal, minimnya kontrol orang dewasa, dan kurangnya penerapan disiplin yang mendidik. Ketiadaan prosedur pencegahan dan penanganan bullying membuat kekerasan menjadi "penyelesaian masalah" berterima. Di sejumlah pesantren, pengawasan siswa sering diserahkan kepada santri senior. Secara kejiwaan, anak-anak tentu belum layak untuk mendidik anak-anak lain. Akibatnya, hukuman—bahkan dengan alasan mendisiplinkan—sering campur aduk antara amarah, balas dendam, dan unjuk kuasa.
Kekerasan fisik dan psikis yang terjadi dalam lingkungan pendidikan harus dipandang sebagai masalah institusional, bukan sekadar kesalahan individu. Sudah waktunya lembaga-lembaga pendidikan berbasis agama melakukan introspeksi serius. Pendidikan akhlak tidak cukup diajarkan di ruang kelas, tetapi harus ditanamkan dalam sistem kehidupan harian santri—dengan menegakkan perlindungan, membangun sistem pelaporan yang aman, dan memutus rantai kekerasan struktural.
3. Tekanan Mental
Penelitian oleh Vina Rifqiati Husna menunjukkan bahwa santri tahfiz yang hendak mengikuti seleksi khātimat 30 juz mengalami gangguan psikologis seperti cemas berlebih, insomnia, gangguan makan, bahkan muntah tanpa sebab medis yang jelas. Seleksi dengan sistem setoran satu hari penuh atau majlisan kampung yang melibatkan pengawasan publik ternyata menjadi pemicu utama tekanan.
Kasus tekanan mental yang berujung tragis juga terjadi di Sidrap, Sulawesi Selatan, ketika seorang santri berusia 15 tahun ditemukan bunuh diri di kamar mandi pondok pesantrennya. Dugaan kuat menunjukkan bahwa korban mengalami tekanan psikologis berat setelah terlibat dalam kasus penganiayaan yang kemudian dimediasi oleh pihak pesantren. Meskipun secara administratif kasusnya telah selesai, pesan tertulis yang ditinggalkan korban mengindikasikan adanya beban batin yang tidak tertangani secara tuntas. Hal ini menunjukkan bahwa perdamaian formal tidak selalu menyelesaikan luka emosional dalam diri remaja yang sedang tumbuh dan rentan.
Pesantren sebagai lembaga pembina moral dan spiritual harus mulai memprioritaskan kesehatan mental sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan iman. Pasalnya, sebaik apapun capaian hafalan atau disiplin moral, tidak akan berarti jika dicapai di atas luka batin yang traumatis.
4. Perilaku Koruptif
Meskipun mencuri atau memanfaatkan properti orang lain (ghasab) terlarang di agama, kehilangan barang pribadi sangat lazim di pesantren. Sandal, alat mandi, pakaian hingga uang tidak serta-merta aman meskipun berada di lingkungan yang dianggap suci. Faktor eksternal seperti pengaruh lingkungan dan pernah kehilangan barang, serta faktor internal seperti pembenaran diri, kemalasan meminta izin, dan keyakinan tidak akan ketahuan, sebagaimana temuan Bulatanias et al (2024) yang menunjukkan potensi pelanggaran hak milik secara massif.
Setali tiga uang, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengungkap bahwa dana sebesar Rp2,5 triliun yang seharusnya digunakan untuk menunjang pendidikan di pesantren justru diduga diselewengkan oleh pengurus pesantren karena lemahnya regulasi dan pengawasan dalam penyalurannya oleh Kementerian Agama. Secara konkret, di Banten, skandal korupsi hibah pondok pesantren yang mencapai kerugian negara sebesar Rp70,7 miliar menyingkap buruknya sistem akuntabilitas dan transparansi keuangan di lembaga yang dikenal suci ini. Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) sebagai lembaga penyalur dana hibah dari Pemprov Banten justru terlibat dalam praktik yang sarat penyimpangan, dengan terdakwa berasal dari birokrasi dan pimpinan pesantren itu sendiri.
5. Kekerasan Seksual
Jika berselancar di internet dengan kata kunci pencabulan di pesantren, kita akan menemukan banyak data: baik kekerasan seksual pedofilia, heteroseksual, maupun homoseksual. Misalnya, seorang kiai di sebuah pondok pesantren di banten diduga mencabuli tiga santri di bawah umur, bahkan salah satu di antaranya sampai hamil. Parahnya, untuk menutupi perbuatannya, tersangka justru menggiring korban melakukan aborsi.
Kejadian serupa terjadi di Trenggalek, pada Maret 2025, di mana Kiai Imam Syafi’i alias Supar divonis 14 tahun penjara karena melakukan tindak asusila terhadap santriwatinya hingga hamil. Dalam persidangan, Supar sempat mengajukan dalih tak masuk akal: ia mengaku memiliki kemampuan menggandakan diri dan menuduh “dirinya yang lain” sebagai pelaku.
Kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru agama di pesantren bukan semata-mata disebabkan oleh kegagalan memilih individu yang tepat untuk mengemban peran spiritual, melainkan akibat dari sistem yang membingkai mereka dalam superioritas moral yang nyaris absolut. Dalam struktur ini, guru agama tidak hanya diposisikan sebagai pendidik, tetapi juga dimistifikasi sebagai wakil Tuhan, birokrat suci yang dipercaya sepenuhnya untuk membimbing murid secara spiritual maupun personal. Ketika posisi ini dipertahankan tanpa pengawasan, kekuasaan menjadi terlalu besar untuk diawasi, dan penyimpangan menjadi tak terhindarkan. Akibatnya, korban kekerasan oleh guru agama atau kyai tak pernah tunggal.
6. Homoseksualitas
Fenomena homoseksualitas di lingkungan pesantren menunjukkan kompleksitas identitas serta ekspresi seksual, yang berarti ekspresi seksual ini ada di mana pun. Studi Rahmatullah (2019) mengungkap adanya fenomena adik-adikan, mojok, kobel, dan tidur kelon, yang mengacu pada ekspresi homoseksualitas. Sementara itu, studi Nur et al. (2016) menawarkan pendekatan teoritik dengan menggunakan perspektif homosociality dan teori queer untuk melihat praktik-praktik homoseksual sebagai bagian dari kontinuitas relasi maskulin di ruang segregatif. Segregasi gender yang ketat, meski diniatkan untuk menjaga kesucian moral, justru memproduksi ruang-ruang sosial yang mendorong kanal-kanal ekspresi seksual alternatif, termasuk yang bersifat homoseksual, sebagai akibat dari keterbatasan interaksi antar-lawan jenis dan represi terhadap kebutuhan afektif dan biologis.
Sementara itu, Jayana (2021) menyoroti dampak dari segregasi gender yang diterapkan secara ketat yang selain menghasilkan peningkatan semangat ibadah dan belajar juga menjadi tempat bagi perilaku homoseksual. Mencermati fenomena ini, ada urgensi untuk menyediakan ruang diskusi terbuka, pendidikan seksual yang kontekstual, dan pendekatan psikologis yang ramah remaja agar kebutuhan emosional dan seksual peserta didik dapat dikelola secara sehat.
*Penulis adalah dosen pada Universitas Al azhar Indonesia (UAI).
COMMENTS