JAKARTA - Film berjudul Seribu Bayang Purnama yang diproduksi Baraka Films dijadwalkan tayang di seluruh bioskop Tanah Air pada 3 Juli 2025.
Film ini akan menjadi sejarah di perfilman Indonesia karena untuk pertama kalinya problematika petani di pedesaan masa kini, diangkat ke layar lebar.
Film ini menceritakan bagaimana sulitnya para petani memperoleh modal untuk mengolah lahan mereka, antara lain karena mahalnya harga pupuk dan pestisida kimia yang sudah biasa digunakan para petani.
Akibatnya, para petani terperosok ke dalam jeratan rentenir yang menerapkan bunga pinjaman selangit, sehingga para petani pun hidup dalam lingkaran kemiskinan yang tak berkesudahan.
Nasib para petani yang kurang beruntung inilah yang menginspirasi Yahdi Jamhur, Founder Baraka Films sekaligus sutradara film Seribu Bayang Purnama, untuk mengangkat kegelisahan para petani masa kini ke dalam sebuah layar lebar.
Menurut Yahdi Jamhur, ide cerita film dari kisah sukses seorang petani muda di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berhasil mempelopori Metode Tani Nusantara, sebuah metode pertanian alami yang mudah, murah dan sederhana.
Dengan menerapkan metode ini, para petani tidak perlu lagi bergantung kepada para rentenir dan pupuk pestisida pabrikan berbahan baku kimia yang harganya cukup mahal serta bisa menekan biaya pertanian hingga 80 persen.
"Konflik antara pejuang tani alami dengan juragan pupuk pabrikan, yang diwarnai kisah cinta yang juga problematik, menjadi bagian paling menarik dalam film ini," kata Yahdi saat press screening dan press conference film Seribu Bayang Purnama di Metropole XXI, Jakarta Pusat, Kamis 26 Juni 2025.
Yahdi Jamhur berharap, film yang dibintangi Marthino Lio, Givina, Whani Darmawan, Aksara Dena serta Nugie ini dapat menginspirasi generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian, seperti yang dicontohkan Putro Hari Purnomo, tokoh utama film ini.
Sesuai dengan pengalaman Yahdi Jamhur yang cukup panjang sebagai jurnalis TV dan pembuat film-film dokumenter, film yang dibuat dengan mengambil lokasi di sebuah desa desa di Yogyakarta ini, dipenuhi dengan gambar-gambar sinematik yang indah dan eksotis, yang dapat membuat para penonton merasa seakan berada di alam pedesaan yang mengingatkan akan akar budayanya.
Skenario ditulis Swastika Nohara, yang pernah meraih dua Piala Maya untuk kategori penulis skenario terpilih, serta nominasi sebagai penulis skenario terbaik pada ajang bergengsi FFI 2014. I rm
COMMENTS