KONFRONTASI- Masyarakat warga di Indonesia bagian Timur yang
banyak berekspresi lewat seni-budaya guna mengartikulasikan dan memperkokoh semangat kebangsaan, keanekaragaman
dan kebhinekaan, sungguh butuh pemberdayaan, butuh peran negara dan civil society
serta dunia usaha untuk memberdayakan mereka, membebaskan mereka dari
kemiskinan, ketidakadilan, penindasan dan diskriminasi. Peran pendidikan dan
pemberdayan oleh Negara dan segenap kekuatan bangsa sangat krusial dan diharapkan
agar ada kesetaraan sesama anak bangsa di Indonesia di dalam modernisasi dan
pembangunan sekarang dan mendatang.
Demikian benang merah pandangan para panelis yakni Rektor UIN
Ambon Dr Abidin Wakano, Feby Indirani MA (jurnalis/aktivis NGO/pendiri Relax
Its Just Religion), dosen Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina Herdi
Sahrasad, dan Ketua Teras Kebhinekaan Dr Moh Shofan dalam diskusi yang dipandu
Achmad Rifki (mahasiswa S2 Paramadina dan peneliti Teras Kebhinekaan) pada webinar
Hypatia School, Sabtu ini di Jakarta, 31 Mei 2025.
Para panelis mengakui, lagu-lagu dari Timur dengan bahasa
khasnya kian populer dan digemari masyarakat Indonesia. Lagu “Stecu Stecu (setelan
cuek)” yang diciptakan dan dinyanyikan Faris Adam asal Maluku Utara viral di
media social menjadi satu contoh ekspresi seni yang memukau publik. Video
klipnya mencapai hampir 59 juta penonton sejak diunggah pada 5 Maret lalu.
Selain lagu Stecu, ada lagu Pica Pica (2024), yang
dipopulerkan Juan Reza asal NTT. 'Karna
Su Sayang' (2018), asal NTT), Aduh Mamae (Ade La Muhu, NTT, 2020), Amakane
Wawawa (2024) dll.
Bagaimana kita melihat fenomena “suara dari Timur” ini dalam konteks kebhinekaan? ‘’Bagi kita, inilah bukti kuatnya ekspresi budaya oleh kaum muda di Indonesia Timur, mereka harus diperdulikan dan diperhatikan oleh negara dan elite stretagis kita agar terus tumbuh berkembang,’’kata Moh Shofan dan Herdi Sahrasad .
Namun demikian, para panelis itu mengungkapkan,
masih ada stereotip di kalangan masyarakat, khususnya stereotip terhadap
masyarakat Indonesia bagian timur. Warga Indonesia Timur (Maluku, Papua dll ) diasosiasikan
dengan kekerasan, miskin, terbelakang dan kurang beradab. ‘’Bahkan seakan ada pengabaian
dan merginalisasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia Timur itu.
Minoritas yang selalu terpandang sebagai kelompok berbeda yang tidak bisa
menyesuaikan diri dengan budaya modern dan nilai dominan yang masyarakat
percayai,’’ ungkap Feby, dan Abidin .
‘’Stereotip itu pun terjadi, tak bisa dipungkiri,’’ imbuh Herdi Sahrasad, aktivis Indonesian Democracy
Monitor (INDEMO).
Para panelis melihat dan mengakui, stereotip adalah generalisasi yang berlebihan atau menyederhanakan karakteristik sekelompok orang atau kelompok sosial tertentu. Stereotip seringkali didasarkan pada prasangka dan tidak tepat, dan dapat memiliki dampak negatif pada individu dan kelompok yang menjadi targetnya.
Stereotip merupakan penilaian
terhadap seseorang berdasarkan persepsi terhadap kelompok dimana orang tersebut
dikategorikan. Indonesia memiliki ragam latar belakang suku, agama, dan
ras yang berbeda.
Para panelis melihat, selama ini streotipe "Suara dari timur" merujuk pada suara atau pendapat yang berasal dari wilayah timur Indonesia, sementara "kebhinekaan" berarti keberagaman atau multikulturalisme. Kombinasi keduanya menunjukkan pentingnya mendengarkan dan menghargai perspektif yang berbeda dari wilayah timur Indonesia. (kf)
COMMENTS