JAKARTA - RUU Perampasan Aset menjadi pertanyaan sebab hingga kini belum juga disahkan.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengungkapkan alasan RUU Perampasan Aset belum juga disahkan hingga kini.
Mahfud mengungkapkan sebenarnya RUU Perampasan Aset seharusnya akan dijadikan undang-undang pada tujuh tahun lalu.
Bahkan, sambungnya, RUU Perampasan Aset sudah seharusnya disahkan sejak sebelum Joko Widodo (Jokowi) menjadi Presiden RI untuk periode kedua.
"Undang-Undang Perampasan Aset itu RUU-nya sudah jadi tahun 2018 sebelum kabinet (Joko Widodo) kedua," katanya dikutip dari program Gaspol di YouTube Kompas.com, Selasa (13/5/2025).
Lalu, Mahfud membeberkan masalah utama sehingga RUU Perampasan Aset tidak kunjung disahkan hingga hari ini.
Yaitu terkait pihak yang ditugasi untuk menampung aset yang disita dari koruptor.
Mahfud menjelaskan masing-masing lembaga hukum seperti Kejaksaan Agung (Kejagung) hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki Rumah Barang Rampasan (Rubasan).
Selain itu, lembaga kementerian seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) atau Kementerian Hukum dan HAM atau Kemenkumham turut memiliki hal yang serupa.
Mahfud mengatakan tiap lembaga tersebut 'berebutan' untuk menjadi pihak yang berhak menampung aset rampasan dari koruptor.
"Ini berebutan terus (pengesahan RUU Perampasan Aset) ditunda sehingga tidak disahkan sampai selesai Pemilu (2019 -red)," jelasnya.
DPR Tiba-tiba Tak Sahkan RUU Perampasan Aset
Namun, Mahfud mengatakan saat masih menjabat sebagai Menkopolhukam era Presiden Jokowi, dia kembali menyerahkan draf RUU Perampasan Aset ke DPR.
Selain itu, Mahfud juga menyerahkan draf terkait RUU Pembatasan Uang Kartal.
Kemudian, dia mengungkapkan DPR memasukkan RUU Perampasan Aset dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020.
Selanjutnya, Mahfud mengatakan Ketua Badan Legislasi (Baleg) saat itu, Supratman Andi Agtas, meminta kepada dirinya agar RUU Perampasan Aset sebagai usulan pemerintah.
Sementara, RUU Pembatasan Uang Karta dianggap sebagai usulan dari DPR. Adapun rencana tersebut pun disetujui oleh Mahfud.
"Yang (Rancangan) Undang-Undang Perampasan Aset diusulkan pemerintah, yang (Rancangan) Pembatasan Uang Kartal biar inisiatif DPR. Materinya sama, tetapi nanti ada penambahan materi (dari DPR) ada (Rancangan) Undang-Undang Pendanaan Parpol," katanya.
"(Andi Agtas mengatakan) Karena kalau ini berlaku, terus parpol ndak jelas dananya, ndak bagus juga. Oh bagus pas saya bilang," sambung Mahfud.
Mahfud mengatakan kemudian bertemu dengan Menteri BUMN, Erick Thohir terkait usulan dari Andi Agtas soal adanya pendanaan parpol lewat negara.
Dia mengusulkan kepada Erick saat itu agar partai diberi dana Rp1 triliun. Bak gayung bersambut, Ketua PSSI itu pun mengiyakan.
Namun, Mahfud mengatakan pembahasan terkait RUU Pembatasan Uang Kartal dan RUU Pendanaan Parpol justru berujung mandeg.
Di sisi lain, pembahasan soal RUU Perampasan Aset terus dilakukan oleh DPR.
Hanya saja, Mahfud mengungkapkan tiba-tiba saat RUU Perampasan Aset akan disahkan, justru DPR tidak ingin melakukannya.
"Terus yang ini (RUU Perampasan Aset) jalan, sampai akhirnya udah selesai, ketika akan disahkan, tiba-tiba DPR tidak mau."
"Udah selesai di tempat kita (pemerintah), makannya saya berteriak di DPR 'kalau Anda mau, disahkan RUU Perampasan Aset ini," katanya.
Setelah itu, Mahfud mengatakan ada anggota DPR yang justru meminta pihak pemerintah kembali mengajukan draf RUU Perampasan Aset, padahal menurutnya tinggal disahkan.
Kemudian, Mahfud yang saat itu masih menjabat sebagai Menkopolhukam, kembali mengajukan draf RUU Perampasan Aset ke DPR pada April 2024.
Bahkan, sudah ada perintah dari Jokowi saat itu agar RUU Perampasan Aset segera disahkan.
Namun, kata Mahfud, DPR kembali tidak ingin mengesahkan RUU Perampasan Aset tanpa alasan yang jelas meski sudah ada perintah dari Presiden.
"Saya ajukan lagi di bulan April atau Mei 2024, kita ajukan lagi surat dari Presiden tahun 2023 (dengan bunyi) 'tolong disahkan RUU Perampasan Aset'."
"Di sana (DPR) tidak mau lagi, entah alasannya apa," katanya.
Mahfud Sempat Ketemu Megawati, Bahas soal Masalah jika RUU Perampasan Aset Disahkan
Setelah terjadinya resistensi di DPR, Mahfud mengatakan sempat bertemu dengan Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Dia mengatakan sebenarnya Megawati setuju jika RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal disahkan.
Namun, Megawati menilai jika kedua RUU tersebut disahkan pada saat itu, maka justru korupsi semakin masif karena polisi dan jaksa justru bisa memeras koruptor saat akan dilakukan perampasan aset.
"Pak Mahfud kata Bu Mega, kami setuju tuh Undang-Undang Perampasan Aset dan Uang Kartal, itu bagus."
"Tapi, kalau sekarang itu diberlakukan, itu akan terjadi korupsi yang lebih besar karena polisi dan jaksa bisa menggunakan undang-undang itu untuk memeras orang."
"Agar asetnya tidak disita, diberi surat bersih dan bayar sekian, dan itu memang betul bisa terjadi memang," kata Mahfud menirukan pernyataan Mega.
Mahfud mengakui pernyataan Megawati tersebut bisa dipahami, tetapi seharusnya lewat pengesahan RUU Perampasan Aset, maka bisa menjadi alat baru untuk pemberantasan korupsi.
Dia mengatakan agar tidak ada pemerasan oleh penegak hukum terhadap koruptor saat merampas aset, maka perlunya penataan organisasi.
"Kalau kita mau sungguh-sungguh, perlu dimulai. Ya, ditata polisinya secara organisasinya, lalu saling pengawasan. Kan bisa lewat Undang-Undang Perampasan Aset-nya," katanya. I trb
COMMENTS