KONFRONTASI- Pemerintahan Presiden Prabowo didesak berbagai kalangan untuk menuntaskan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun yang sempat dibongkar Menkopolhukam Mahfud MD. Tahun lalu, saat rapat kerja dengan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di DPR, Jakarta, Rabu (29/3/2023), anggota Komisi III DPR Hinca Panjaitan menyebut polemik nilai transaksi mencurigakan Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan ibarat petir yang menyambar-nyambar. Kisruh itu memperlihatkan betapa pejabat publik dalam satu organisasi tidak senada suaranya. Publik pun gerah, gelisah dan dibuat kebingungan.Suasana rapat dengar pendapat umum antara Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komite Tindak Pengendalian Pencucian Uang (TPPU) berlangsung cukup panas,(29/3/2023).
''Peristiwa skandal finansial yang bikin heboh di waktu lalu itu harus dituntaskan pemerintah baru, dan publik percaya komitmen Pak Prabowo untuk basmi korupsi-KKN,'' ungkap para analis di berbagai media.
''Itu soal KKN gawat yang harus dituntaskan, belum lagi penambangan ilegal, KKN di sektor tambang/mineral di Bangka Belitung, Sulawesi, Kalimantan dll, '' kata Umar Hamdani MA, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Strategi (LS3) dan para analis lainnya
Maka dari itu, dalam
beberapa kali pernyataan kepada publik ada ketidaksepahaman yang muncul.
"Dari keterangan bu
Sri Mulyani tadi saya ingin menjelaskan fakta dan datanya bisa ambil di sini.
Bahwa ada kekeliruan pemahaman bu Sri Mulyani karena ditutupnya akses dari
bawah sehingga apa yang dijelaskan dari tadi data diterima tanggal 14 ketika
bertemu dengan pak Ivan," kata Mahfud.
Dia mencontohkan, dalam
sebuah pertemuan bersama Kemenkeu dan PPATK, Sri Mulyani ditanyakan soal uang
Rp 189 triliun. Sri Mulyani mengaku tidak mengetahui adanya data tersebut,
berdasarkan laporan pejabat eselon I Kemenkeu.
"Itu pejabat
tingginya eselon I (bilang) gak ada, gak pernah ada. Pak Ivan bilang ada. Baru
ada oh itu nanti dicari," jelas Mahfud.
Padahal menurut Mahfud
itu adalah data penting, bahwa ada dugaan tindak pidana pencucian uang dengan
15 entitas di bidang Bea Cukai. Surat yang disampaikan sebanyak 300 surat tidak
diterima langsung oleh Sri Mulyani. "Jadi ada akses yang ditutup untuk Bu
Sri Mulyani," tegasnya.
Mahfud Seret Nama Heru Pambudi, Sumiyati Dkk
Dalam sidang dengan
Komisi III, Mahfud menunjukkan bukti berita acara penyerahan informasi
transaksi janggal yang diduga tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu.
Dia mengungkap nama-nama
pihak yang menyerahkan dan menerima laporan transaksi janggal. Nama-nama itu
dari PPATK dan Kementerian Keuangan.
Dari pihak yang terlibat
serah terima itu dan termuat dalam berita acara adalah Kiagus Ahmad Badaruddin
selaku Kepala PPATK periode 2016-2020. Lalu ada Dian Ediana Rae yang saat itu
merupakan wakil ketua PPATK periode 2016-2020.
Kemudian, ada Heru
Pambudi, yang saat itu merupakan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Sumiyati
selaku Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan sejak 2017 hingga 2021, serta
ada dua nama lain yang masing-masing dari Itjen Kemenkeu dan Ditjen Bea dan
Cukai.
"Ini tidak bisa
diserahkan dengan surat karena sensitif. Oleh sebab itu diserahkan by hand.
Bertanggal 13 November 2017. Ini yang serahkan Ketuanya Pak Badaruddin, Pak
Dian Ediana, kemudian Heru Pambudi dari Dirjen Bea Cukai, lalu Sumiyati
irjennya," tutur Mahfud.
Laporan kasus transaksi
janggal itu sebetulnya sudah terendus sejak 2013, menurutnya. Namun karena tak
kunjung ditindaklanjuti, PPATK menyurati lagi pada 2020. Namun demikian, begitu
kasus itu tak juga ditindaklanjuti hingga akhirnya dia ungkap ke publik senilai
Rp 349 triliun dengan periode rekapitulasi 2009-2023.
"Ini ada tanda
tangan semua nih. Bahwa 2013 kasus ini masuk tapi 2020 belum selesai, kita
kirimi surat baru, ketika surat baru ini tanya kita ketemu sama Kemenkeu, di
situ bilang ada Bu Sri Mulyani, lalu irjen bilang surat itu tidak ada, saya
ralat, bukan Sri Mulyani, waktu itu adanya Wamenkeu, Irjen dan ini, itu bilang
surat ini tidak ada," ujar Mahfud.
Hingga ditunjukkan
adanya berita acara serah terima dan data-data transaksi janggal saat pertemuan
Mahfud dengan jajaran Kementerian Keuangan di Kantor Menko Polhukam pada 10
Maret 2023, dia mengatakan pihak terkait dari jajaran Sri Mulyani yang ada di
situ menegaskan tak tahu adanya laporan itu.
Ada Pengaruh Jokowi
Mahfud MD mengungkapkan
alasannya baru mau membongkar dugaan kasus transaksi mencurigakan di
Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun.
Mahfud bercerita, ini
bermula dari pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo pada Februari 2023,
setelah penyelenggaraan acara Satu Abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo, Jawa
Timur.
"Sebulan lalu,
ketika ada acara 1 abad NU di Sidoarjo saya diajak pulang bersama oleh presiden
1 pesawat dari Surabaya karena apa? membahas indeks persepsi korupsi,"
tutur Mahfud di Komisi III DPR, Jakarta, dikutip Kamis (30/3/2023).
Mahfud menceritakan
bahwa saat perjalanan pulang dari situ, Presiden Joko Widodo mengungkapkan
kemarahannya karena Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun, dari 2021
skornya berada di 38 menjadi 34 pada 2022.
Dia menjelaskan kepada
Presiden Jokowi telah mengundang berbagai lembaga untuk menguak penyebab
penurunan itu, di antaranya yang disebutkan secara gamblang dari Transparansi
Internasional Indonesia dan Litbang Kompas.
Dari data beberapa
lembaga itu, terungkap bahwa turunnya indeks persepsi korupsi itu disebabkan
sentimen negatif terhadap bidang pelayanan publik, terutama akibat korupsi di
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak.
"Terutama korupsi
di bea cukai dan perpajakan, clear itu penjelasannya, yang kedua facilitating
payment dalam pelayanan publik di berbagai tempat itu orang sekarang bayar mau
naik pangkat bayar ke siapa, kalau enggak punya channel itu enggak bisa,"
kata Mahfud.
Oleh sebab itu, ketika
terjadi kasus pemukulan anak dari eks pejabat eselon 3 di Direktorat Jenderal
Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, terungkap ke publik dan
dikuliti harta kekayaannya yang sangat jumbo dan di luar profil, ia mengaku
mulai tertarik mengusut lebih dalam.
"Itulah sebabnya
sejak saat itu saya ini pajak dan bea cukai jadi masalah sehingga kalau saya
kok punya latar belakang begitu ada kasus Alun (RAT)," tuturnya. (sumber2/cmm Ind, KCM)
COMMENTS