Oleh Herdi Sahrasad, dosen Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina, aktivis INDEMO (Indonesia Democracy Monitor) dan research associate LP3ES Jakarta
KONFRONTASI- Dukacita kita atas wafatnya Bang Faisal Basri masih terasa ketika catatan kecil ini kutuliskan. Saya membaca tulisan Faisal Basri di koran Bisnis Indonesia akhir tahun 1980-an, ketika dia masih muda dan saya jurnalis koran Bisnis Indonesia waktu itu . Tulisannya merefleksikan sikap moralnya membela kepentingan rakyat banyak terkait pembangunan ekonomi Orde Baru.
Sejak mudanya, Faisal bercerita padaku bahwa salah satu guru/mentornya di FE UI adalah Prof Sarbini Sumawinata MA, sosok ekonom Indonesia pertama lulusan Harvard University,AS, yang juga pernah jadi guru/mentor saya waktu muda- difasilitasi Bang Hariman Siregar (tokoh Malari 1974/Mantan Ketua Umum Dewan Mahasiswa UI)- Subhanallah..
Memang, sejak 1981 ketika masih menempuh program sarjana, Bang Faisal telah mulai mengajar dan menjadi peneliti di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, kemudian memegang gelar Master of Arts ilmu ekonomi dari Universitas Vanderbilt, AS pada 1988. Saya tidak terlalu intensif bergaul dengan Bang Faisal karena kesibukan masing-masing. Namun sudah sering berdiskusi dimana Bang Faisal sebagai narasumber sangat kaya perspektifnya, sangat kaya pesan moral-etiknya.
Dalam pertemuan untuk diskusi terbatas di Yogyakarta dan Jakarta sekitar dua tahun lalu, Bang Faisal Basri menyampaikan kritik tajam terhadap oligarkisme yang mencengkeram ‘’istana dan negara’’ era Jokowi. Dalam diskusi di dua kota itu kami berfoto bersama sebagai kenangan, dan tak lupa Bang Faisal berpesan agar perjuangan demi kemanusiaan dan keadilan serta keselamatan lingkungan/bumi ini, tidak berhenti sampai akhir hayat.
Bang Faisal bercerita padaku bahwa setelah sekitar 30 tahun mengabdi sebagai dosen di FE-UI, dia mendapat pensiun sekitar Rp3 juta per bulan. Dia pun bersyukur bisa berkiprah bersama anak-anak bangsa samoai usia lanjut, dan ngobrol dengan saya mengenai isu-isu/masalah strategis yang harus dihadapi pemerintah baru pasca Jokowi dari sisi ekonomi-politik.
Kita tahu Ekonom senior Faisal Basri meninggal dunia di
Jakarta, Kamis (5/9/2024) pagi. ''Selamat jalan menuju Keabadian di pangkuan
Tuhan YME. Bang Faisal adalah ekonom yang membela rakyat, berjuang untuk
kemanusiaan dan keadilan. Beliau dekat dengan kaum muda dan sangat cinta rakyat
kita yang masih miskin, menderita. Beliau berjuang untuk keadilan dan
kebenaran, membela kaum tertindas,'' bisik saya pada seorang wartawan muda.
Bang Faisal Basri (berbaju biru tua, nomor tiga dari
kiri,berdiri) dengan penulis dan rekan rekan intelektual/aktivis/tokoh masyarakat berpose habis diskusi terbatas di Yogyakarta sekitar dua tahun lalu.
Dalam diskusi di INDEMO (Indonesia Democracy Monitor) pimpinan Dr Hariman Siregar pada 15 Januari 2024, bang Faisal kembali mengingatkan daya rusak rezim Jokowi yang selama 10 tahun terakhir penuh dengan cekaman Oligarki dan KKN (korupsi kolusi nepotisme) merajalela. ‘’Makin lama Jokowi berkuasa, makin merusak Indonesia dan demokrasi kita, orang ini sudah keterlaluan,’’ kata Faisal.
Jumlah
utang pemerintah Jokowi pada 2024 ini mencapai sekitar Rp 8.500 triliun dan jadi beban berat
rakyat, karena banyak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). ‘’KPK dilemahkan Jokowi, hukum dirusak dan
ekonomi rakyat dibuatnya terus merosot tajam, dia terus melayani Oligarki,’’ujar
Faisal.
Bang
Faisal menyerukan agar gerakan mahasiswa, kaum muda dan masyarakat terus
mendesak agar Jokowi tidak dibiarkan
memperpanjang kekuasaannya,bahkan dia menyerukan Jokowi mundur saja dari pada cuma
merusak kehidupan ekonomi dan politik di Tanah Air.
Dewasa
ini, mustinya KKN itu dibasmi oleh KPK
secepatnya, apalagi Jokowi sudah ditinggalkan rakyat karena Jokowi banyak
dusta, bohong dan KKN merajalela . Dalam dua periode kepemimpinan Jokowi,
selama sembilan tahun terakhir, utang pemerintah bertambah lebih dari Rp 5.535,6 triliun atau naik tiga
kali lipat (212 persen) sampai awal 2024.
Faisal
sudah mengingakan bahwa bukan hanya kebijakan dan program pembangunan yang
diturunkan lintas rezim, utang pun diwariskan. Pemerintahan Joko Widodo yang
akan purna tugas pada Oktober mendatang meninggalkan beban utang besar kepada
rezim baru melebihi para presiden sebelumnya. Dan beban utang pemerintah saat
ini terutama bunganya sudah semakin besar, lalu kemampuan negara dalam
mendapatkan pendapatan rasio pajak menurun sehingga beban bunga itu sudah
sangat berat. Dewasa ini masyarakat sudah dibebani pemerintah dengan menaikkan
pajak, dampak KKN dan kerusakan lingkungan hidup 10 tahun Jokowi yang sangat
parah.
Para pemikir dan jurnalis
mencatat bahwa wafatnya Faisal Basri membuat negeri ini kehilangan sosok pemikir ekonomi
yang mempunyai kepekaan terhadap lingkungan hidup dan kemanusiaan. Faisal Basri
tak hanya seorang ekonom, juga pegiat lingkungan dan sosial. Dia
dikenal sebagai sosok yang vokal mengkritik penguasa ketika bikin kebijakan
yang berisiko menyengsarakan rakyat. Pria yang tutup usia pada umur 65 tahun ini konsern bersuara ketika
lingkungan hidup hancur lebur dan masyarakat menderita dampak dari investasi
ekstraktif. Tak hanya menyumbangkan pikirannya, dia juga tak jarang
membersamai masyarakat yang sedang berjuang melawan ketidakadilan.
Bahkan Muhammad Jamil, Kepala
Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, Faisal Basri
sebagai seorang intelektual organik. Menurutnya, pengetahuan Faisal digunakan pada level
berbeda, yakni, untuk kemaslahatan masyarakat. Dia juga sederhana dan ikut
membersamai perjuangan warga. Sementara Tata Mustasya, Senior Campaign Strategist Greenpeace International,
mengatakan, Faisal Basri sosok yang menginspirasi. Akademisi yang sangat paham
terhadap keilmuan yang dia dalami hingga menilai suatu kondisi tak hanya dari
kacamata ekonomi. Faisal juga bicara sesuatu yang dia yakini benar,
menyampaikan kebenaran dan bernyali besar.
Saya mencatat bahwa
pada 30 Agustus 2024, dia masih berada di Dairi, Sumatera Utara, bersama
masyarakat yang sedang mempertahankan ruang hidup yang terancam pertambangan
seng, PT Dairi Prima Mineral (DPM). Pada hari-hari itu Bang Faisal bersama
masyarakat dan para aktivis lingkungan dan kemanusiaan ikut talkshow di salah
satu rangkaian acara Festival Durian, sebagai wujud pertahanan ekonomi
masyarakat.
Ketika masyarakat menggugat perusahaan terkait keterbukaan
informasi kontrak karya, Faisal juga menjadi ahli di pengadilan. “Tidak ada
kata lain, hanya ada satu kata, lawan,” katanya dalam talkshow di Dairi,
penghujung Agustus lalu itu.
Dalam diskusi itu, Faisal berbicara tentang kebijakan pemerintah di sektor pertanian dari sisi ekonomi dan ancaman industri tambang. Tambang, katanya, bersifat merusak dan mengancam kehidupan kalau tak dikelola dengan wawasan lingkungan, kalau tak diurus dengan sebaik-baiknya. Faisal pun berkomitmen membersamai masyarakat kita berjuang melawan perusahaan tambang yang merusak.“Ini urusan kita bersama, Ini bukan urusan rakyat Dairi saja, tapi urusan kita semua termasuk kami-kami yang di Jakarta. Kami akan bersolidaritas. Kami akan melawan terus di Jakarta an kota kota lainnya.”
Bang Faisal juga tak pernah menerima bayaran sepeserpun ketika diminta bantuan warga Dairi Sumut. Meskipun sebenarnya warga sudah mengalokasikan anggaran tetapi dia tak mau.
Hemat saya, Bang Faisal termasuk sosok intelektual yang langka, rendah hati dan ramah pada anak muda. Dia berusaha menjawab pertanyaan para wartawan muda, meski pertanyaan itu tak bermutu sekalipun. Dia berusaha mencerahkan siappun yang bertanya atau belajar kepadanya. Dia penuh kasih sayang pada setiap insan yang tertindas, menderita, bodoh dan marginal. Sebagai ekonom, analisis ekonominya sangat jelas, tajam dan menusuk jantung persoalan.
Bang Faisal hidup sahaja, meski sebenarnya ia dapat hidup kaya dengan mudah. Tapi, sebagaimana dicatat jurnalis senior Dahlan Iskan, ia tetap saja naik kendaraan umum. Tinggalnya pun di apartemen sederhana, berdua dengan istri,sedang tiga anaknya sudah mandiri semua. Bang Faisal wafat dalam usia 65 tahun, Selamat Jalan Abang. Al Fatihah.
(berbagai sumber)
COMMENTS