Oleh Herdi Sahrasad, pengajar Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina
KONFRONTASI- Bank Dunia melihat
ketimpangan Indonesia dalam 15 tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat
signifikan dan mengkhawatirkan.. Ketimpangan tersebut terjadi lantaran
ketidakadilan pembangunan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, belum
lagi ketimpangan antarindividu dan antargolongan yang sangat tajam.
Bank Dunia mengajukan setidaknya empat
rekomendasi yang dapat dilakukan Indonesia untuk menghindari tingginya
ketimpangan yang terjadi saat ini:
Pertama,memperbaiki pelayanan publik di
daerah, terutama di daerah-daerah terpencil dan ini merupakan kunci utama agar
generasi berikutnya mendapatkan awal yang lebih baik adalah peningkatan
pelayanan publik di daerah, sehingga dapat memperbaiki peluang kesehatan,
pendidikan, dan keluarga berencana bagi semua orang.
Kedua,
menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih baik dan memberikan kesempatan bagi
karyawan untuk mendapatkan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan kualitas
Sumber Daya Manusia yang lebih baik.
Ketiga
adalah memastikan perlindungan dari guncangan. Kebijakan pemerintah dapat
mengurangi frekuensi dan keparahan guncangan, selain juga memberikan mekanisme
penanggulangan untuk memastikan bahwa semua rumah tangga memiliki akses ke
perlindungan memadahi jika guncangan melanda.
Keempat
adalah menggunakan pajak dan anggaran belanja pemerintah untuk mengurangi
ketimpangan saat ini dan di masa depan. Kebijakan fiskal yang berfokus pada
peningkatan belanja pemerintah di bidang infrastruktur, kesehatan dan
pendidikan, bantuan sosial dan jaminan soaial. Merancang sistem perpajakan yang
lebih adil dengan menperbaiki sejumlah peraturan perpajakan yang saat ini
mendukung terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang.
Hampir pasti rekomendasi Bank Dunia itu
tidak akan dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah beserta birokrasi dan
aparaturnya. Sejak era Orde Baru Soeharto sampai reformasi hari ini, etos kerja
birokrat/aparat kita lembek, mental korup dan terjadi disorientasi nilai-nilai
secara fatal. Sudah lama juga terjadi decoupling, keterpisahan, antara program
dan agenda social-ekonomi masyarakat dan pemerintah. Sementara demokrasi
transaksional dan korupsi politik yang merajalela, telah memupus harapan publik
bagi perbaikan hidup dan pemerataan ekonomi.
Dalam kaiitan isu di atas, aktivis Eddy Junaedi mencatat bahwa satu kelemahan mendasar kabinet Joko Widodo dengan motor Sri Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), lemah dari segi fiskal, tetapi sangat kreatif dalam berutang. Diharapkan Prabowonomics mengatasi hal tersebut dengan memisahkan fiskal, sementara Kementerian Keuangan hanya mengurus moneter bersama Bank Indonesia, khususnya biaya (pengeluaran) untuk pembangunan yang disepakati dalam APBN. Selama ini mayoritas dari pajak dan komoditi migas, karena profit sharing hanya 2,5–5% menurut Undang-Undang, dan ini perlu direformasi, diperbaiki. Sementara aktivis senior Ir Indro Tjahjono menctata bahwa di bawah pemerintahan Jokowi, BUMN berutang sebesar Rp6.500 triliun. Pertamina tercatat memiliki utang sebesar Rp700 triliun dan PLN sebesar Rp500 triliun. Banyak perusahaan BUMN yang sekarat dan bangkrut akibat kebijakan ini. Beberapa BUMN PUPR bahkan terpaksa menjual ruas tol kepada pihak asing karena biaya pembangunan yang semakin tinggi.
Menurut Mukhamad Misbakhun, anggota Komisi XI DPR RI, pemerintah juga mengelola dana publik sebesar Rp4.500 triliun, sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pembayaran kewajiban BUMN yang bangkrut, seperti PT. Merpati Nusantara Airlines, PT. Asuransi Jiwasraya, dan PT. Dirgantara Indonesia. Namun, Sri Mulyani berkilah bahwa utang pemerintah hanya sebesar Rp9.000 triliun, atau sekitar 40% dari PDB, meskipun jika ditambah dengan utang BUMN dan kewajiban domestik, total utang mencapai Rp21.000 triliun atau 95% dari PDB.
DARWINISME EKONOMI
Saya melihat sejak
jatuhnya Orde Baru Soeharto 1998 sampai era reformasi hari ini, pertumbuhan
ekonomi paling besar tetap dirasakan oleh masyarakat kaya. Sedangkan masyarakat
miskin hanya sedikit terasa dampaknya. Ketimpangan
pendapatan naik dengan cepat dan hampir sepertiganya berasal dari ketimpangan
kesempatan. Pengentasan kemiskinan mulai stagnan, dengan penurunan yang
mendekati nol pada tahun 2014. Kajian World Bank mengkonfirmasikan hal itu,
dimana saat ini terdapat 45 juta orang
atau 18% orang paling kaya di Indonesia merupakan kelompok paling berkembang
paling pesat. Namun, terdapat 40% warga termiskin hanya mencatatkan pertumbuhan
di bawah 2%.
Di sini jelas terjadi apa yang disebut Nurcholish Majid (1998) sebagai
Darwinisme Ekonomi, dimana pembangunan ekonomi
Indonesia yang kapitalistis,
mengorbankan rakyat banyak yang
lemah dan tertinggal, karena lebih
menjunjung kedaulatan kapital atau modal, dengan sistem ekonomi bebas tanpa
batas yang berorientasi penuh pada hasil, laba atau keuntungan.
Di dalam Darwinisme
Ekonomi yang dimaksudkan Nurcholish Madjid (Cak Nur) itu, kapitalisme merusak
sendi-sendi kehidupan masyarakat, mengajak manusia untuk menyembah uang dan
kekuatan yang bermodal serta membuat para elite dan penguasa sama sekali tidak
mengindahkan nilai etika dan agama. Kasus
pertemuan Setya Novanto dan M.Riza Chalid
dengan Dirut Freeport Maruf Syamsuddin yang mencatut nama Presiden
Jokowi dan Wapres JK membuktikan hal ini.
Akibatnya, masyarakat
akan semakin jauh dari sikap ‘’saling asah-asih-asuh’’, kehilangan kepercayaan,
rasa kasih sayang, cinta dan pengorbanan. Pola pikir para elite dan masyarakat
tergiring untuk mengutamakan keuntungan materi dan kuasa semata.
Situasi ini
mendorong, atau bahkan ‘memaksa’ masyarakat saling berkompetisi di
dalamnya, dimana terjadi persaingan (kompetisi), individualisme, dan perolehan
keuntungan secara tidak adil karena golongan
yang kuat dan bermodal, terbukti yang unggul dan dominan . Tak bisa dibantah
dewasa ini, golongan yang kuat dan bermodal makin perkasa dan berkembang,
sedangkan golongan ekonomi lemah kian tersingkirkan, tertindas dan
terinjak-injak.
Dalam Darwinisme Ekonomi itu, golongan
lemah dan miskin akan selalu menjadi pihak yang dikorbankan menjadi the victims of the victimized, meminjam
metafora Edward Said.
Hal ini terbukti dengan studi Bank Dunia dimana dalam lima belas tahun terakhir ketimpangan di Indonesia semakin meningkat. Tercatat pada 2000 rasio gini sebesar 0,3 kemudian meningkat menjadi 0,41 pada 2015. Dan pertumbuhan selama satu dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen warga terkaya, sementara 80 persen populasi sisanya sekira 205 juta orang masih tertinggal di belakang. Artinya, meningkatnya kesenjangan standar hidup dan semakin terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang. Sementara antara 2003-2010 konsumsi per orang untuk 10% warga terkaya Indonesia naik lebih tajam hingga 6% per tahun dengan memperhitungkan inflasi. Tapi, kenaikannya (pertumbuhan) kurang dari 2% per tahun untuk 40% warga miskin. Pada 2024 ini, kondisi sosial ekonomi itu jauh lebih buruk lagi.
Penting dicamkan bahwa kasus kekerasan di Singkil (Aceh), Tolikara (Papua), Mesuji ( Lampung), Bima (NTT) dan seterusnya, tidak terlepas dari Darwinisme Ekonomi ini.
Dalam kaitan ini,
menarik analisis Yuki Fukuoka dan Luky
Djani melalui artikel mereka yang diterbitkan dalam South East Asia Research tahun 2016 berjudul Revisiting the Rise of Jokowi: The Triumph of Reformasi or An
Oligarchic Adaptation of Postclientelist Initiatives?, dimana mereka menganggap
sejak awal Jokowi sudah bukan lagi sosok yang ia citrakan ke publik selama
kampanye: mengutamakan kepentingan rakyat di atas partai.
Hanya beberapa bulan
menjalankan pemerintahan, presiden baru Indonesia, Jokowi, mulai mengecewakan
pendukungnya yang berharap dia bisa meningkatkan kualitas demokrasi.
Di bagian awal artikel mereka, Djani dan Fukuoka menyatakan bahwa “Jokowi memberikan posisi strategis kepada kepentingan oligarki dan mengindikasikan keputusannya justru dilandasi oleh partai pendukungnya, bertentangan dengan janji kampanye tentang pemerintahan yang “bersih” dan “profesional” tanpa tukar guling. Sebaliknya, salah satu metode efektif yang digunakan Jokowi untuk memperluas kekuasaan adalah politik balas budi ini. Menurut Yuki Fukuoka dan Luky Djani, setelah Orde Baru runtuh, kelompok masyarakat tercerai-berai menjadi tidak beraturan. Akibatnya, mereka yang memegang kekuasaan masih terikat dengan oligarki dari pemerintahan sebelumnya.
Namun, seiring dengan munculnya aktivis dan kelompok buruh, elit politik pasca-Orde Baru juga memperhatikan kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah. Bagaimanapun, mereka membutuhkan suara mereka untuk menang dalam pemilu. Selain itu, mereka berani menyuarakan tuntutan yang lebih besar daripada sebelumnya.
Para politisi tidak lagi bergantung pada patronase untuk menang dalam kontestasi pemilu. Mereka mulai mendukung orang-orang yang memiliki kisah yang peduli pada orang-orang miskin dan berani mempromosikan program populis. Tokoh seperti ini biasanya muncul selama periode demokratis setelah otoritarianisme yang melanggengkan praktik klientelistik telah runtuh. "Ketika mobilisasi klientelistik menjadi kurang efektif, maka elite oligarki mulai selektif merangkul populisme dalam usaha mempertahankan cengkeraman pada struktur kekuasaan negara," kata Fukuoka dan Djani. Cengkeraman oligarki inilah yang membuat rezim Jokowi makin jauh dari rakyatnya sendiri sebab Jokowi berpihak pada oligarki dan mencampakkan kepentingan publiknya sendiri.
Tak lama lagi Jokowi
akan berakhir dari kekuasaan, dan sangat muskil/mustahil mengharapkan Pemerintahan
Joko Widodo bisa mengubah realitas pahit ini kembali ke Ekonomi
Konstitusi, UUD45 dengan implementasi rule of law yang kuat,
sebagaimana yang diaksentuasikan dalam Nawacita, Trisakti dan Revolusi
Mentalnya agar perubahan bisa diwujudkan. Konsistensi Jokowi untuk itu, tak
bisa lagi diharapkan. Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), Neoliberalisme dan Oligarkisme sudah mengakar. Dalam hal ini , meminjam perspektif WS Rendra, harkat dan
martabat bangsa kita, sudah tak bisa dijaga dan dipertahankan dari rongrongan
frustasi dan keputusasaan. Hal ini akibat kegagalan rezim Jokowi yang sangat melukai dan mengecewakan rakyatnya sendiri.
Kini harapan rakyat kita ada pada Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk perbaiki keadaan, dan civil society (kita) seyogianya membantu pemerintah baru mengatasi segudang warisan masalah dari Jokowi. Kita musti bahu membahu dengan pemerintah baru nanti untuk membawa negara bangsa ini keluar dari jeratan masalah dan kemelut ekonomi serta krisis multi dimensi. Merdeka!
COMMENTS