KONFRONTASI-
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar, menjaga stabilitas
ekonomi-politik, maka pemerintah harus mampu menegakkan rule of law, good
governance, dan mewujudkan pembangunan ekonomi yang inklusif dengan pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas. Juga diperlukan kontrol/check and balances dari
parlemen dan civil society terhadap
pemerintah agar ekonomi-politik stabil
dan dinamis.
Demikian pandangan yang disampaikan oleh Herdi Sahrasad (pengajar Universitas Paramadina), Kepala Pusat Kebijakan APBN (PK-APBN) Wahyu Uotmo MSi, pengamat Iwan Bento Wijaya, dan Foundiner Gentani Ananda Bahri P. dalam Seminar Nasional (FGD) Serikat Mahasiswa dengan tema "Pengaruh Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah Terhadap Ketahanan Perekonomian Nasional", diselenggarakan oleh Serikat Mahasiswa (Sema) Universitas Paramadina, Jumat 2/8/24. Seminar ini dibuka oleh Wakil Rektor Paramadina Bidang Akademik dan Kemahasiswaan: Dr. Fatchiah Kertamuda, M.Sc.
Para pembicara
mengatakan, disiplin fiskal, rule of law, good governance, control/checks and
balances antarlembaga eksekutif, legislative dan yudikatif sangat dibutuhkan
agar rupiah tetap stabil dan tidak terus merosot. Faktor-faktor global juga
berpengaruh, namun factor domestik yang paling sangat menentukan kondisi moneter
kita. ''Disiplin fiskal penting, dan harus kita upyakan agar defisit APBN tetap dibawah 3 persen,'' kata Wahyu Utomo
Herdi
mengingatkan salah satu kelemahan mendasar kabinet Joko Widodo dengan motor Sri
Mulyani Indrawati (Menteri Keuangan), lemah dari segi fiskal, tetapi sangat aktif/kreatif
dalam berutang. Ke depan, kita harapkan Prabowonomics mengatasi hal tersebut
dengan memisahkan fiskal, sementara Kementerian Keuangan hanya mengurus moneter
bersama Bank Indonesia, khususnya biaya (pengeluaran) untuk pembangunan yang
disepakati dalam APBN.
‘’Harus kita
waspadai bahwa di bawah pemerintahan Jokowi, BUMN berutang sebesar Rp8.500
triliun. Pertamina tercatat memiliki utang sebesar Rp700 triliun dan PLN
sebesar Rp500 triliun. Banyak perusahaan BUMN yang sekarat dan bangkrut akibat
kebijakan ini. Beberapa BUMN PUPR bahkan terpaksa menjual ruas tol kepada pihak
asing karena biaya pembangunan yang semakin tinggi,’’kata Herdi
Dalam hal ini, Mukhamad
Misbakhun, anggota Komisi XI DPR RI, sudah mengungkapkan pemerintah juga mengelola dana publik sebesar
Rp4.500 triliun, sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan
pembayaran kewajiban BUMN yang bangkrut, seperti PT. Merpati Nusantara
Airlines, PT. Asuransi Jiwasraya, dan PT. Dirgantara Indonesia.
Namun, Sri
Mulyani berkilah bahwa utang pemerintah hanya sebesar Rp9.000 triliun, atau
sekitar 40% dari PDB, meskipun jika ditambah dengan utang BUMN dan kewajiban
domestik, total utang mencapai Rp21.000 triliun atau 95% dari PDB.
‘’Beban utang
negara dan BUMN sangat besar, sangat berat dan berdampak menekan pada nilai tukar rupiah, berbagai kalangan bahkan mengatakan
kita nyaris bangkrut karena terjerat utang, salah urus dan KKN pada rezim Jokowi,’’kata Herdi.
(ff)
COMMENTS