OPINI-Nana (Kamala Chandrakirana) putri sulung Soedjatmoko, menceritakan sekelumit perbincangan yang menarik dengan ayahnya. Kisah itu diceritakan Nana dalam acara peluncuran website membacasoedjatmoko.com sekaligus memperingati 100 tahun Soedjatmoko.
Nana bertanya kepada bapaknya, ingin ditulis sebagai apa di batu nisan makamnya nanti? Ayahnya menjawab, ingin ditulis sebagai independent thinker, pemikir independen. Saya tidak tahu, apakah kalau kita berziarah ke makam Soedjatmoko, ada tulisan itu di batu nisannya.
Tapi saya kira itulah Soedjatmoko, sepanjang hayatnya, ditengah berbagai gejolak sosial politik yang diarunginya dia terus berupaya untuk menjadikan dirinya seorang pemikir bebas.
Kesan itu bagi saya terlihat nyata kalau kita mendengarkan wawancara dengan Soedjatmoko pada 24 Maret 1989 yang didokumentasikan oleh Duke University. Dalam seri dokumentasi yang berjudul The Living History Program itu Soedjatmoko menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh tiga professor (Ralph Braibanti, Craufurd Goodwin dan Malcom Gillis) dari universitas tersebut.
Dalam wawancara hampir tiga jam itu Soedjatmoko seperti meringkas riwayat perjalanan karirnya sekaligus menunjukkan pokok-pokok pikirannya yang terpenting.
Dari wawancara itu kita bisa menyaksikan bagaimana Soedjatmoko berusaha tampil sebagai pemikir independen dalam berbagai konteks sosial politik di dalam negerinya sendiri maupun di kancah internasional.
Obsesinya tentang kebebasan sebagai pantulan martabat tertinggi seorang manusia dan komitmennya untuk menemukan jalan-jalan yang bisa mengemansipasi mereka yang miskin dan tertindas, mungkin menjadi keprihatinannya yang terus membayangi dirinya sepanjang hayatnya.
Tapi, dalam tafsir saya, justru dalam trajectori antara obsesinya tentang kebebasan dan inklinasi untuk emansipasi terletak ironi sekaligus paradoks seorang Soedjatmoko. Saya memberanikan diri untuk mengatakan bahwa pilihannya pada kebebasan telah menyisihkan keadilan yang semestinya menjadi utama jika jalan-jalan yang bersifat emansipatoris ingin ditemukannya.
Bagi saya kebebasan (freedom) dan keadilan (justice) merupakan dua public virtue (kebajikan publik) yang harus dilihat secara terpisah.
Jika kebebasan berkaitan dengan sesuatu yang bersifat pribadi, keadilan berhubungan dengan sesuatu yang bersifat sosial. Dalam konteks Indonesia dan dunia, ketika persoalan besar yang dihadapi adalah soal ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, menurut hemat saya keadilan harus didahulukan daripada kebebasan.
Dalam berbagai tulisannya, juga dalam wawancara di Duke University, Soedjatmoko selalu mengingatkan masalah ketimpangan yang bersifat global ini. Tapi mengapa Soedjatmoko memilih menekankan kebebasan dan seperti menomorduakan keadilan?
Untuk bisa menjawab pertanyaan ini kita perlu merunut riwayat perjalanan sosial politik Soedjatmoko, baik yang dialami di dalam negerinya sendiri maupun di kancah politik global.
Soedjatmoko sendiri, sepengetahuan saya, tidak pernah mempersoalkan dikotomi antara kebebasan dan keadilan, dan dalam tulisan-tulisannya bisa ditafsirkan bahwa kebebasan adalah prasarat dari dapat dicapainya keadilan.
Sebagai bagian dari lingkaran dalam pengikut Sutan Sjahrir, Soedjatmoko adalah penganut faham sosialisme. Generasi awal para pemimpin kemerdekaan Indonesia hampir bisa dikatakan penganut faham sosialisme dan Marxisme.
Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir mempelajari Marxisme dan Sosialisme langsung dari sumbernya di Eropa, sementara Sukarno mempelajarinya dari buku-buku. Pada tahun 1922 Partai Komunis Indonesia berdiri dan menjadi partai politik pertama di Hindia Belanda Pada tahun 1926 Sukarno menulis artikel yang berjudul Nasionalisme, Marxisme dan Islam. Pada tahun tahun itu juga terjadi pemberontakan yang digerakkan PKI di Banten dan Sumatera Barat.
Saat itu Soedjatmoko baru berusia empat tahun dan masih bersama orang tuanya tinggal di Belanda. Saat itu ayah Soedjatmoko, Saleh Mungundiningrat masih menyelesaikan studi doktornya di Belanda. Pemberontakan PKI yang gagal itu membuat ditangkapnya ratusan tokoh pergerakan nasional dan sebagian diasingkan ke Digul di Papua.
Pada tahun 1928 seperti tidak terpengaruh oleh pemberontakan PKI dua tahun sebelumnya para pemuda dari berbagai organisasi kesukuan dan kedaerahan mengikrarkan Sumpah Pemuda, bertanahair satu, berbangsa satu dan berbahasa satu; Indonesia.
Perkembangan gerakan menuju kemerdekaan seperti tidak terbendung dan memperoleh katalisator di masa pendudukan Jepang 1942-1945. Gerakan nasional terpecah antara kubu Soekarno dan Hatta yang bersedia bekerjasama dengan Jepang, dan kubu Sjahrir, Tan Malaka dan Amir Sjarifuddin yang memilih bergerak dibawah tanah dan menolak kerjasama dengan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang Soedjatmoko sudah menjadi mahasiswa kedokteran. Saat inilah sebuah insiden politik penting bagi Soedjatmoko muda terjadi, berdama beberapa temannya dikeluarkan dari sekolah karena menentang keharusan bagi mahasiswa untuk digunduli kepalanya.
Sebagai bagian dari kelompok Sjahrir yang menentang kerjasama dengan Jepang peran Soedjatmoko menjadi semakin penting karena beranjak ke tataran internasional mengikuti peran Sjahrir yang merupakan perdana menteri pertama dan memilih jalan perundingan dalam proses dekolonisasi dengan Belanda.
Soedjatmoko merupakan tokoh yang boleh dikatakan mengenal dengan baik langkah-langkah Amerika Serikat yang pada fase terakhir perundingan memutuskan mendukung kemerdekaan Indonesia.
Dalam wawancara dengan Duke University itu Soedjatmoko menunjukkan faktor perubahan politik yang terjadi di Cina disampingsedang berlangsungnya Marshall Plan di Eropa sebagai alasan kenapa sikap Amerika Serikat berubah mendukung Indonesia dan seperti mengorbankan Belanda.
Konteks Perang Dingin sangat penting untuk memahami obsesi Soedjatmoko mengapa kebebasan menjadi pilihannya dan bukan keadilan yang menjadi acuan dari negara-negara blok komunis dan sosialis yang berkiblat ke Uni Soviet.
Pada konteks politik dalam negeri kegelisahannya terhadap semakin otoriternya Presiden Sukarno dan menguatnya kubu partai komunis yang menggunakan sosialisme sebagai retorik, saya kira, semakin menjadikan kebebasan sebagai ralying point sikap politik dan kebajikan utama dalam pemikiran-pemikirannya tentang pembangunan manusia (human development).
Sebuah artikel yang belum lama ini terbit di Third World Quarterly, Vol 42, 2020; ditulis oleh Kevin Fogg, berjudul. “Indonesian socialism of the 1950s: from ideology to rhetoric” sangat membantu untuk memahami pilihan Soedjatmoko tentang posisi utama dari kebebasan dalam pembangunan (The primacy of freedom in development).
Sebagai gagasan, makna kebebasan paling lengkap dan koheren, tertuang dalam tulisannya yang berjudul Freedom and Development yang disiapkannya untuk Izhisaka Memorial Lecture pada tahun 1979, saat itu Soedjatmoko masih menjabat sebagai penasehat Bappenas untuk bidang sosial budaya.
Tulisan yang aslinya merupakan ketikan 88 halaman dan terbagi dalam tiga sub-tema (Freedom and Human Right, Freedom and Human Growth, dan Freedom and Human Development) ini kemudian diterbitkan pada tahun 1982 oleh Simul Press sebagai buku dengan judul yang sama. Saat buku ini terbit Soedjatmoko telah menjabat sebagai Rektor Universitas PBB yang berkedudukan di Tokyo.
Jika kita tilik kembali teks asli yang ditulisnya pada tahun 1979 itu, sebagai penasihat Bappenas Soedjatmoko mengetahui persis arah pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh para ekonom-teknokrat dibawah pimpinan Profesor Widjojo Nitisastro.
Tahun 1979 merupakan tahun yang penting karena rangkaian demonstrasi dan protes menentang pemerintahan Suharto yang dinilai semakin menciptakan ketimpangan ekonomi oleh mahasiswa dan para disident politik, seperti Petisi 50, Surat Keprihatinan para intelektual yang dipimpin Rendra dan Buyung Nasution; baru saja reda.
Pemerintah saat itu mulai mencanangkan apa yang disebutnya sebagai Delapan Jalur Pemerataan dalam Repelita ketiganya. Protes terhadap strategi pembangunan ekonomi yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan investasi asing itu sebenarnya sudah dimulai sejak awal tahun 1970an dan mencapai puncaknya pada Peristiwa Malari 1974 dimana
tidak sedikit tokoh PSI ditangkap.
Gerakan protes untuk menegakkan keadilan sosial dan pemerataan itu tentu menjadi perhatian yang serius dari Soedjatmoko yang kembali ke Indonesia pada tahun 1973 setelah menyelesaikan tugasnya sebagai dutabesar di Amerika Serikat sejak tahun 1968.
Baik dalam statusnya sebagai dutabesar maupun kedudukannya sebagai penasehat Bappenas sepulang dari Amerika, Soedjatmoko secara rutin selalu memberikan masukan secara tertulis kepada pemerintah.
Disini kita bisa melihat seorang pemikir yang terlibat, kritis tetapi tetap loyal terhadap pemerintah Orde Baru. Pada periode ini Soedjatmoko juga sering menulis untuk Prisma dan menjadi pembicara utama dalam berbagai konferensi di dalam maupun di luar negeri, antara lain juga dalam konferensi yang setiap tahun diselenggarakan oleh HIPPIS (Himpunan Peminat dan Peneliti Ilmu Sosial).
Tulisan untuk Izhisaka Memorial Lecture yang seperti prelude dari kepindahannya ke Jepang itu, bisa dinilai sebagai kulminasi pemikirannya tentang pembangunan yang harus bertumpu pada kebebasan manusia.
Gagalnya gerakan protes dan kritik terhadap rezim Suharto yang oleh Herbeth Feith dalam tulisannya di Prisma 1975 dideskripsikan sebagai Repressive Developmentalist Regime saya duga membuat Soedjatmoko dissilusioned dengan situasi di Indonedia, meskipun hal itu tidak membuatnya kehilangan harapan seperti terlihat dari terus mengalirnya tulisan-tulisan yang merupakan refleksi terhadap berbagai situasi dilematis yang sedang dihadapi bangsanya.
Sejumah tulisan yang dipilih dan dirangkum dalam sebuah buku yang diterbitkan oleh LP3ES (Dimensi Manusia dalam Pembangunan, 1983) dengan kata pengantar yang bagus dari Aswab Mahasin, mencerminkan proses pergumulannya yang tanpa henti tentang pembangunan manusia.
Dalam kaitan dengan pilihannya untuk menekankan kebebasan dalam pembangunan menarik membaca tulisan yang dibuatnya sebagai pidato kunci pada konferensi HIPPIS tahun 1979, "Dimensi-Dimensi Struktural Kemiskinan".
Saya kira pilihannya untuk mengungkap dimensi struktural dari kemiskinan sedikit keluar dari dimensi kebebasan yang selalu ditekankannya. Meskipun akhir tahun 1980an itu pemerintah seperti menjawab kritik dengan mulai mencanangkan program Delapan Jalur Pemerataan, namun kita tahu bahwa pemerataan yang diharapkan tak kunjung tiba karena arah pembangunan yang berkiblat pada pertumbuhan tak mungkin dibelokkan.
Inklinasi Soedjatmoko sebagai seorang pemikir independen, seperti yang ingin dituliskan di batu nisannya; terhadap kebebasan, dalam tafsir saya bukan tanpa sebab. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam lingkungan sosialis, bersama mentornya, Sutan Sjahrir, penilaian dan pengalamannya akan mudahnya keadilan menjadi jargon dari rezim-rizim otoriter, di negerinya sendiri maupun di dunia, menggeser faham sosialisme yang memperjuangkan keadilan menjadi condong ke faham humanisme yang mengutamakan kebebasan.
Tapi memang di sanalah ironi dan paradoks seorang pemikir independen seperti Soedjatmoko. Sepuluh tahun setelah ia wafat (1989), rezim otoriter di negerinya tumbang. Namun, perubahan politik yang diharapkan pasca tumbangnya rezim otoriter itu terbukti tidak banyak mengubah ketimpangan struktural yang terus menjadi ciri pembangunan negerinya.
Kebebasan yang menjadi obsesi pemikiran pembangunan manusia Soedjatmoko, masih bergaung, namun realitas sosial tampaknya terus berkembang menjauhinya.
Disampaikan pada Seri Diskusi Mengenang 100 Tahun Soedjatmoko “Soedjatmoko, Ilmuwan Pemikir Kebebasan dan Pembangunan: Kontekstualisasi dan Relevansi bagi Imajinasi Indonesia”, pada tanggal 24 Februari 2022.
______________
Oleh: Riwanto Tirtosudarmo, Peneliti Independen
Source: TPJ
COMMENTS