Oleh Kombes Pol. Dr. Dedy Tabrani, S.I.K., M.Si
Polisi adalah salah satu institusi negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, dalam menjalankan tugasnya, polisi sering kali menghadapi dilema kepolisian yang sulit. Di satu sisi, polisi harus menegakkan hukum dan mengikuti perintah pemerintah. Di sisi lain, polisi harus memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat yang menjadi objek pelayanannya
Salah satu contoh dilema kepolisian yang baru-baru ini menjadi sorotan adalah kasus konflik di Pulau Rempang. Di pulau kecil ini, terjadi konflik antara masyarakat lokal dengan investor asing yang ingin membangun proyek wisata. Masyarakat lokal menolak proyek tersebut karena merasa akan dirugikan secara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Investor asing, yang didukung oleh pemerintah pusat, mengklaim bahwa proyek tersebut akan meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan daerah.
Polisi, yang ditugaskan untuk mengamankan lokasi proyek, mendapat tekanan dari kedua belah pihak. Dari pihak pemerintah, polisi diminta untuk menindak tegas para demonstran yang mengganggu jalannya proyek. Dari pihak masyarakat, polisi diminta untuk bersikap netral dan melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara. Polisi pun terjebak dalam situasi yang membingungkan dan berbahaya.
Kasus Rempang bukanlah kasus yang terisolasi. Banyak kasus serupa yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, seperti kasus Tanjung Priok, Mesuji, Sidoarjo, dan lain-lain. Dalam kasus-kasus tersebut, polisi seringkali menjadi sasaran kritik dan kekerasan dari masyarakat yang merasa tidak puas dengan tindakan mereka. Di sisi lain, polisi juga mendapat ancaman dan intimidasi dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan proyek-proyek yang mereka amankan.
Bagaimana polisi bisa keluar dari dilema ini? Apakah polisi harus memihak kepada pemerintah atau kepada rakyat? Apakah polisi harus bersikap keras atau lunak? Apakah polisi harus menjadi penegak hukum atau penjaga perdamaian?
Tugas dan Fungsi Polisi
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu melihat lebih jauh tentang peran dan fungsi polisi dalam negara demokratis. Menurut Nelson (2001: 3), "police are the most visible and powerful representatives of the state". Polisi adalah wajah dan tangan negara yang berinteraksi langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, polisi harus menjalankan tugasnya sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, yaitu menghormati hak asasi manusia, mengedepankan dialog dan musyawarah, serta menghindari kekerasan dan diskriminasi.
Namun, nilai-nilai demokrasi tidak selalu sejalan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat otoriter dan represif. Lawrence (2022: 12) menulis bahwa "the politics of force is shaped by the political environment in which police operate". Polisi tidak bekerja dalam ruang hampa, melainkan dalam konteks politik yang kompleks dan dinamis. Polisi harus beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat nasional maupun lokal. Polisi juga harus mempertimbangkan dampak-dampak dari tindakan mereka terhadap berbagai pemangku kepentingan.
Dalam situasi seperti ini, polisi membutuhkan kebijaksanaan dan profesionalisme yang tinggi. Polisi harus mampu menyeimbangkan antara loyalitas kepada negara dan empati kepada rakyat. Polisi harus mampu menentukan kapan harus menggunakan kekuatan dan kapan harus menggunakan persuasi. Polisi harus mampu membedakan antara pelanggar hukum dan korban ketidakadilan.
Miller (1998: 151) mengemukakan bahwa "police brutality is not a simple phenomenon, but a complex and multifaceted one". Polisi tidak selalu bersalah ketika terlibat dalam tindakan kekerasan. Polisi juga bisa menjadi korban dari tekanan politik, kurangnya sumber daya, rendahnya moral, dan buruknya komunikasi. Polisi juga bisa menjadi korban dari persepsi yang salah dari masyarakat yang menganggap mereka sebagai musuh dan bukan sebagai sahabat.
Holmes dan Smith (2008: 4) mengatakan bahwa "race and police brutality are intertwined in a vicious cycle". Polisi tidak selalu adil ketika berhadapan dengan masyarakat yang berbeda suku, agama, ras, atau golongan. Polisi juga bisa menjadi pelaku dari diskriminasi, stereotip, dan prasangka. Polisi juga bisa menjadi pelaku dari penyalahgunaan wewenang, korupsi, dan kolusi.
Polisi, sebagai manusia biasa, tentu memiliki kelemahan dan kesalahan. Namun, polisi, sebagai pelayan publik, harus berusaha untuk meningkatkan kualitas dan integritasnya. Polisi harus bersedia untuk belajar dari pengalaman dan kritik. Polisi harus bersedia untuk berubah dan berbenah.
Dilema Kepolisian
Dalam ksus Rempang, polisi dihadapkan pada persoalan dilema kepolisian yakni situasi di mana anggota kepolisian atau lembaga penegak hukum menghadapi pilihan yang sulit antara menjalankan hukum yang ditetapkan pemerintah atau melindungi masyarakat. Oleh karena itu, agenda mewujudkan pemolisian yang demokratis dihadapkan pada banyak dilema kepolisian. Dilema kepolisian, singkatnya, adalah dilema yang dialami aparat polisi saat meningkatkan kapabilitas pemolisiannya. Pasalnya, di satu sisi ia perlu untuk meningkatkan posisi strategisnya dalam menghadapi dinamika ancaman keamanan di lapangan, namun di sisi lain ia akan dilihat sebagai potensi ancaman oleh masyarakat.
Oleh karena itu, harapan untuk melahirkan aktor-aktor kepolisian yang berwajah humanis dan berwatak demokratis adalah naif tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan soal dilema kepolisian. Dengan demikian, sejauh mana persoalan dilema kepolisian ini diantisipasi, dipertimbangkan, dan diperhitungkan dalam setiap tanggapan respon terkait dugaan kekerasan yang dilakukan aparat polisi. Dengan demikian, perlu adanya pertimbangan secara komprehensif dalam mencanangkan strategi mewujudkan pemolisian demokratis, dan bukan sekedar respon jangka pendek berbasiskan kepanikan semata melalui siaran pers, petisi, atau kecaman di media massa
Kasus bentrok antara polisi dan warga di Rempang memperlihatkan bahwa mengoperasionalisasi konsep-konsep dan nilai-nilai pemolisian yang demokratis ke dalam rujukan teknis bagi implementasi di lapangan bukanlah hal mudah; ia menuntut pemahaman menyeluruh dan kehati-hatian ekstra dalam menerjemahkan ke konteks ke-Indonesia-an.
Akhirnya,
dilema kepolisian dalam konflik Rempang menjadi keniscayaan yang tidak bisa
dihindari. Namun, polisi di tengah harapan rakyat
adalah sebuah cita-cita yang harus dicapai. Polisi harus menjadi bagian dari
solusi dan bukan bagian dari masalah. Polisi harus menjadi mitra dan bukan
lawan dari masyarakat.
COMMENTS