OPINI-Sesuai dengan namanya, Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) mencatatkan peranan penting dalam perubahan politik sepanjang sejarah NKRI. Setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, Kostrad saat dipimpin Mayjen Soeharto menjadi benteng pertahanan bagi kekuatan anti komunis untuk mengganyang kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap sebagai dalang di balik aksi ‘putsch’ berdarah sekelompok perwira militer binaan PKI untuk mengganti para pemimpin Angkatan Darat tersebut.
Kostrad yang saat itu bukan merupakan komando utama pengendali pasukan tempur, menjadi tempat berlindungnya para pemimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dalam menjalankan aksi-aksi Tritura. Aksi-aksi mahasiswa angkatan 1966 untuk menuntut penurunan harga bahan pokok dan pembubaran PKI ini mendapatkan pengawalan dari Kostrad, khususnya pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, pendahulu Kopassus) saat dipimpin Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
Bahkan saat Presiden Soekarno mengumumkan pembubaran KAMI per tanggal 24 Februari 1966, para pemimpin KAMI menginap di Markas Komando Tempur II Kostrad di Kebon Sirih (sekarang Mess Kostrad). Kepala Staf Kostrad dan mantan Pangkopur II Brigjen Kemal Idris yang memiliki reputasi anti Soekarno dan anti PKI berperan penting dalam melindungi jalannya aksi-aksi mahasiswa anti PKI yang kemudian bereskalasi menjadi aksi mahasiswa untuk menurunkan Bung Karno dari jabatan Presiden.
Setelah Bung Karno jatuh dan Soeharto menjadi Presiden, kita tentu saja mengenali para aktivis KAMI karena mereka kemudian memegang peranan penting dalam pemerintahan Orde Baru seperti Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad, Sofjan Wanandi, David Napitupulu dan Zamroni. Kostrad yang pada awalnya tidak memiliki pasukan, menjadi komando utama pengendali pasukan berkualifikasi lintas udara dan mekanis sebesar 30 ribu prajurit.
Kostrad juga berperan penting dalam peristiwa Reformasi 1998. Pada saat terjadinya kerusuhan 13-15 Mei 1998, sekitar 50 tokoh nasional berkumpul di Kostrad antara lain Amien Rais, Adnan Buyung Nasution, Ali Sadikin, Faisal Basri, Bambang Widjojanto dan Arifin Panigoro untuk membentuk Majelis Amanat Rakyat (MARA) pada 14 Mei 1998. Presiden Soeharto pada saat terjadinya kerusuhan sedang berada di Kairo, Mesir dalam rangka menghadiri KTT G-15, dan malam tanggal 14 Mei waktu Kairo berbicara di depan masyarakat Indonesia di Mesir bahwa jika ia tidak dikehendaki rakyat lagi maka akan mengundurkan diri.
Berkumpulnya tokoh-tokoh nasional pendiri MARA dengan Amien Rais sang lokomotifnya ini menarik, karena diadakan Markas Kostrad yang sejak 14 Maret 1998 atau menjelang Sidang Umum MPR untuk memilih Soeharto menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya, dipimpin oleh Letjen Prabowo Subianto yang notabene saat itu adalah menantu Presiden Soeharto. Move Prabowo ini kemudian menjadi catatan penting yang kemudian mengakhiri karir militernya secara cepat, selain ia dianggap bertanggung jawab dalam penculikan aktivis pro demokrasi, Prabowo dianggap bergerak sendiri dalam peristiwa pergantian kekuasaan tersebut.
Sejarah Kostrad
Setelah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 27 Desember 1949, gejolak ketidakpuasan terhadap bagaimana Pemerintah Republik Indonesia menjalankan kekuasaannya pecah di berbagai daerah. Militer yang saat itu yang saat itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) berada di bawah Pemerintahan Sipil sebagaimana yang berlaku di negara-negara demokrasi liberal, belum memiliki kedisiplinan, sumber daya dan kemampuan yang cukup untuk menghadapi pergolakan-pergolakan tersebut. Belum lagi latar belakang budaya, sosial dan politik prajurit APRI yang beragam.
Dengan keterbatasan tersebut, operasi militer yang dilancarkan APRI menemui banyak masalah. Misalnya saat pasukan Divisi Brawijaya dari Jawa Timur dikirimkan ke Sulawesi Selatan di bawah kendali operasi Komando Daerah Pemulihan Sulawesi Selatan dan Tenggara (KoDP-SST, embrio Kodam XIV/Hasanuddin) dengan Panglima Kolonel Soedirman (ayah mantan Gubernur Jawa Timur Basofi Soedirman dan salah satu pendiri MUI). Walaupun Kolonel Soedirman berlatar belakang santri dan menggunakan pendekatan metafisika (spiritual-religius), pasukan Brawijaya tidak semuanya berlatar belakang santri dan kebanyakan berasal dari masyarakat abangan sehingga kurang memiliki sensitifitas dengan sikap religius suku Bugis, Luwu dan Makassar di Sulawesi Selatan yang dikenal sebagai masyarakat muslim taat (Harvey, 1989).
Begitu pula saat PRRI di Sumatera Barat dijawab Pemerintah dengan melancarkan Operasi 17 Agustus dipimpin Kolonel Ahmad Yani yang setelah tiga bulan digantikan oleh Kolonel Pranoto Reksosamudra. Pranoto dikenang masyarakat Sumatera Barat karena memobilisasi milisi Organisasi Perlawanan Rakyat (OPR) yang kebanyakan anggotanya direkrut dari Pemuda Rakyat organisasi onderbouw PKI. OPR mengejar tokoh-tokoh PRRI seperti Natsir dan Sjafruddin dengan brutal dan berhasil membunuh Kolonel Dahlan Djambek, mantan Panglima Divisi IX Banteng saat Revolusi dan saat itu sudah bernegosiasi untuk menyerah.
Berbeda saat Divisi Siliwangi mengirimkan pasukan ekspedisi untuk menghadapi PRRI di Sumatera Utara dan melaksanakan Operasi Kilat untuk menghadapi DI-TII Kahar Muzakkar. Operasi yang dipimpin Letkol Umar Wirahadikusumah di Tapanuli berjalan dengan damai, bahkan dikatakan sebenarnya pasukan Siliwangi yang dikenal religius dan intelektual hanya berjalan-jalan mengunjungi rumah penduduk saja di pedalaman Mandailing dan sekitarnya yang menjadi basis PRRI di Tapanuli. Sementara operasi Kilat pasukan Siliwangi yang dipimpin Letkol Solihin G.P. meninggalkan nama harum, hingga masyarakat setempat mengubah nama sebuah desa menjadi Desa Solihin untuk mengenang keberhasilan Divisi Siliwangi mengambil hati rakyat dan menumpas pemberontakan Kahar Muzakkar tanpa menumpahkan darah warga sipil tak berdosa.
Reputasi yang berbeda-beda dalam keberjalanan Operasi Militer tersebut menjadikan KSAD Jenderal Nasution memiliki ide pembentukan pasukan mobil yang berada di bawah kendali Markas Besar Angkatan Darat (MBAD). Ide pembentukan pasukan mobil yang dapat digerakkan di berbagai tempat digodok dengan matang. Kolonel Yani yang merupakan lulusan Sesko Angkatan Darat Amerika Serikat (US Army Command and Staff College) di Fort Leavenworth Kansas tahun 1956, berperan penting dalam menyusun ide pasukan mobil tersebut. Kebetulan sekali pada tahun 1958, US Army membentuk pasukan mobil bernama Strategic Army Corps (STRAC) yang dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan Perang Dingin bereskalasi menjadi Perang Dunia III. STRAC terdiri dari Divisi Infanteri 1, Divisi Infanteri 4, Divisi Lintas Udara 82, Divisi Lintas Udara 101 dan Divisi Lapis Baja 1, lima kesatuan militer legendaris dalam Perang Dunia II.
Ide Kolonel Yani selaku Deputi I KSAD tersebut ditetapkan oleh KSAD Jenderal Nasution pada 27 Desember 1960 sebagai pasukan Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad), bersamaan dengan meningkatnya eskalasi konflik Indonesia dan Belanda dalam persoalan Papua Barat. Pada 6 Maret 1961, Brigjen Soeharto yang menggantikan Ahmad Yani sebagai Deputi I KSAD ditunjuk sebagai Panglima Korps Tentara (Korra) I/Tjaduad, dengan kekuatan pasukan 1 komando tempur (Kopur) yang dipimpin Kolonel Rukman. Soeharto membentuk staf yang dipimpin Kolonel Ahmad Wiranatakusumah, tokoh menak Sunda yang kemudian berperan penting dalam operasi penumpasan PKI dan masa awal kekuasaan Orde Baru.
Namun tidak seperti STRAC, Kopur II/Tjaduad yang dipimpin Rukman tidak memiliki pasukan tetap, melainkan meminjam pasukan dari tiga divisi Angkatan Darat yaitu Siliwangi, Diponegoro dan Brawijaya. Operasi pertama Kopur II adalah operasi pembebasan Irian Barat di bawah Komando Mandala, kemudian dilanjutkan dengan operasi pengganyangan Malaysia di bawah Komando Mandala Siaga. Kopur II dipimpin Brigjen Kemal Idris beroperasi di bawah Tjaduad yang berubah nama menjadi Komando Tjadangan Strategis Angkatan Darat pada 15 Agustus 1963 dengan wilayah operasi Sumatera dan target operasi Malaya.
Kostrad dan Konfrontasi Malaysia
Jika dibandingkan dengan Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat, Angkatan Darat di bawah kepemimpinan Mayjen Ahmad Yani pada dasarnya tidak terlalu antusias mendukung Operasi Dwikora untuk mengganyang Malaysia. Selain lebih condong mendukung gerilyawan Komunis di Semenanjung Malaya, Sarawak dan Kalimantan Utara, pasukan Inggris yang dihadapi Angkatan Darat lebih tangguh dan berpengalaman dalam pertempuran rimba dan gerilya saat Perang Dunia II menghadapi Jepang. Pasukan Angkatan Bersenjata RI (ABRI) dan sukarelawan-sukarelawati (sukwan-sukwati) Dwikora binaan Badan Pusat Intelijen pimpinan Menteri Luar Negeri Soebandrio menghadapi kesulitan dalam menghadapi Inggris, sehingga korban berjatuhan.
Ketidakantusiasan Angkatan Darat dalam mendukung Konfrontasi dengan Malaysia bukan tidak ditangkap oleh sang Pemimpin Besar Revolusi dan Panglima Tertinggi ABRI Soekarno. Bung Karno pada dasarnya tidak menyukai penunjukan Brigjen Kemal Idris sebagai Pangkopur II/Kostrad dengan wilayah operasi Sumatera untuk menyerbu Semenanjung Malaya. Kemal Idris bagaimana pun adalah Komandan Resimen Infanteri 7 dengan pangkat Mayor yang mengarahkan satu baterai artileri lapangan ke Istana Merdeka saat Peristiwa 17 Oktober 1952, tentunya atas perintah KSAD Kolonel Nasution.
Sikap tidak antusias juga ditunjukkan Angkatan Darat dalam menyikapi penunjukan Menteri/Panglima Angkatan Udara Laksamana Madya Udara Omar Dhani sebagai Panglima Komando Siaga (Pangkoga). Omar Dhani yang mengawali karir militer sebagai Tentara Pelajar Solo pada masa Revolusi, dipandang rendah oleh Angkatan Darat yang didominasi senior Angkatan 45 (Sundhaussen, 1986).
Dalam buku Komandan Siluman Merah (2019), Kepala Staf Kostrad Brigjen Ahmad Wiranatakusumah yang menjadi Wakil Panglima II Koga hingga memutuskan pengunduran diri dari begitu mendengar desas-desus Pangkostrad Mayjen Soeharto akan pensiun karena tersinggung dengan pengangkatan Omar Dhani. Bung Karno akhirnya menerima pengunduran diri Ahmad dan menunjuk Soeharto sebagai Wakil Panglima II Komando Mandala Siaga setelah wewenangnya diperluas, dengan Omar Dhani tetap sebagai Panglima.
Penunjukan Soeharto sebagai Wapangkolaga justru semakin melemahkan operasi, karena Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani memerintahkan Mayjen Soeharto menjalankan Operasi Khusus untuk menegosiasikan perdamaian dengan Malaysia. Operasi yang dijalankan Asisten Intelijen Kopur II Letkol Ali Moertopo ini begitu legendaris, misalnya kisah Mayor Benny Moerdani yang menyamar menjadi petugas tiket Garuda Indonesia di Bangkok untuk mencari kontak dengan anak angkat Sutan Syahrir, Des Alwi yang dikenal dekat dengan Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman. Opsus Ali Moertopo ini sukses dan begitu Soeharto memegang jabatan Ketua Presidium Kabinet Ampera, Pemerintah Indonesia secara resmi menghentikan Konfrontasi dan menormalisasi hubungan RI dan Malaysia sejak 11 Agustus 1966.
Tentu saja backchanneling yang dilakukan Angkatan Darat ini bocor ke telinga Omar Dhani dan salah satu bawahannya yaitu Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo, Panglima Kopur IV/Kostrad yang beroperasi di perbatasan Sarawak yang kemudian terlibat Gerakan 30 September. Omar Dhani mengadukan hal tersebut kepada Bung Karno, menyebabkan sang Pemimpin Besar Revolusi sangat marah dan menuduh para jenderal Angkatan Darat tidak loyal. Sebenarnya pada 1 Oktober 1965, Presiden akan mengganti Letjen Yani dengan Deputi I/Menpangad Mayjen Moersid yang dikenal Soekarnois. Namun ternyata kemarahan Presiden ditangkap berbeda oleh Letkol Untung Syamsuri, Komandan Yon 1/Kawal Kehormatan Tjakrabirawa, yang memutuskan bertindak mengamankan para atasannya sendiri pada malam 30 September 1965. Kita tentu mengetahui epilog malapetaka sejarah tersebut.
Mengawal Orde Baru hingga Reformasi 1998
Pada awal tulisan sudah dideskripsikan bagaimana Kostrad yang tidak memiliki pasukan justru sukses melindungi aksi-aksi mahasiswa angkatan 1966. Peranan tersebut tidak lepas dari aliansi Brigjen Kemal Idris sebagai Kaskostrad, Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie, serta Kepala Staf Kodam Siliwangi Brigjen H.R. Dharsono. Tiga perwira ini kemudian dikenal sebagai triumvirat Orde Baru yang tidak hanya melindungi gerakan mahasiswa, namun juga berperan aktif dalam menjatuhkan Soekarno dan menangkapi para politisi pendukungnya.
Dari kesatuan yang tidak memiliki pasukan, Kostrad menjadi poros kekuatan politik dengan peran strategis sesuai dengan kepanjangan akronimnya. Begitu strategis sehingga Soeharto merasa perlu mencegah jabatan Pangkostrad dijabat lebih dari dua tahun, tidak seperti Soeharto yang menjabat selama lebih dari 4 tahun. Kekuatan Kostrad kemudian berkembang, dari sekedar meminjam pasukan dari Kodam hingga mengakuisisi dua brigade infanteri masing-masing dari Siliwangi, Diponegoro dan Brawijaya.
Untuk mencegah munculnya sosok radikal seperti Kemal Idris, hanya perwira tinggi yang memiliki loyalitas kepada Soeharto dan memiliki reputasi profesional yang dapat menjabat Pangkostrad. Sebut saja nama Wahono, Makmun Murod, Himawan Soetanto, Leo Lopulisa, Rudini, Soegito dan Wismoyo Arismunandar yang merupakan adik ipar Ibu Tien Soeharto.
Atas dasar loyalitas itu juga Wiranto yang berkarir lama menjadi ajudan Soeharto diangkat Mabes ABRI sebagai Pangkostrad pada 4 April 1996, dan pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Jenderal, setelah sebelumnya Pangkostrad adalah posisi untuk Mayjen. Kenaikan pangkat Wiranto bersamaan dengan naiknya pangkat Komandan Kopassus Brigjen Prabowo Subianto menjadi Mayjen dan perubahan nomenklatur menjadi Komandan Jenderal Kopassus. Soeharto beranggapan, dengan menempatkan mantan ajudan serta menantu di pucuk pimpinan kesatuan militer yang berjasa dalam menegakkan Orde Baru, transisi politik pemilihan umum 1997 akan berjalan lancar.
Apa yang dibayangkan Soeharto bahwa transisi politik berjalan lancar ternyata tidak terjadi. Diawali dengan kerusuhan 27 Juli 1996, persiapan dan pelaksanaan pemilihan umum 1997 diwarnai kerusuhan antara pendukung partai politik dan Golongan Karya serta konflik rasial di beberapa daerah. Per 2 Juli 1997 atau setelah Pemilu, Krisis Moneter menambah tensi konflik di tingkat akar rumput.
Markas Besar ABRI pada dasarnya menangkap gejala turbulensi politik tersebut sejak jauh-jauh hari. Maka beberapa dari mereka mendukung langkah Soeharto mendekati kelompok Islam yang pada Sidang Umum MPR 1993 mendukung Menristek Prof. B.J. Habibie sebagai Calon Wapres melalui pendirian ICMI. Beberapa lembaga pemikir (think tank) seperti CIDES yang didirikan Habibie serta CPDS yang mengampanyekan Siti Hardiyanti Rukmana, putri tertua Soeharto sebagai calon pemimpin masa depan, dibentuk untuk menggantikan pamor CSIS, think tank yang didirikan Ali Moertopo namun lebih dikenal sebagai lembaga intelektual kelompok Katolik karena digawangi Sofjan Wanandi, Harry Tjan Silalahi, Panglaykim dan menjadi mantan Pangab dan Menhankam Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani sebagai patron politik.
Prabowo sendiri saat menjabat Danjen Kopassus dan menjadi salah satu patron CPDS (Center for Policy and Development Studies) bersama kelompok ABRI Hijau seperti Pangab Feisal Tanjung, KSAD R. Hartono dan Kassospol Syarwan Hamid, mendirikan lembaga pemikir sendiri bernama Institute for Policy Studies (IPS) yang digawangi Din Syamsuddin, Jimly Asshiddiqie dan Fadli Zon akibat konflik internal di dalam CPDS dan ketidaktertarikan mereka untuk mengikuti sikap Mbak Tutut yang tidak begitu menyukai Habibie. Begitu Prabowo menjadi Pangkostrad pada 14 Maret 1998 atau beberapa hari menjelang Sidang Umum MPR 1998, IPS merayakannya dengan meriah. Wajar saja, Pangkostrad adalah jalan menuju pucuk pimpinan Angkatan Darat dan tentunya ABRI.
Dengan posisi yang sama dengan Soeharto pada gejolak politik 1965-1966, Prabowo mencoba melakukan komunikasi politik dengan para tokoh nasional para pendiri MARA tersebut. Pertemuan saat terjadinya kerusuhan tanggal 14 Mei 1998 tersebut sebenarnya absurd, mengapa saat mahasiswa memenuhi jalanan untuk mendesak mundurnya Soeharto kemudian para tokoh nasional tersebut bertemu dengan Prabowo, entah dalam rangka komunikasi politik semata atau mencoba melakukan negosiasi politik elit.
Beberapa di antara 50 tokoh nasional dalam MARA yang dideklarasikan di Makostrad dan dihadiri Prabowo Subianto tersebut kemudian kita ketahui berperan penting dalam menyusun skema demokratisasi Indonesia yang kemudian dinamakan Reformasi bahkan sampai detik ini. Dengan demikian, maka Reformasi Mei 1998 tidak lebih dari negosiasi antara elit yang dicitrakan progresif dan demokratis dengan para perwira ABRI yang saat itu lebih mendahulukan status quo. Tentu saja, sebagaimana Jenderal Soeharto yang tidak mungkin mendesak mundurnya Soekarno, Pangkostrad Prabowo tidak mungkin berada dalam posisi memohon pengunduran diri Soeharto.
Tidak sulit membandingkan bagaimana dua perubahan politik 1966 dan 1998. Perubahan politik 1966 mengubah wajah Indonesia dari berhaluan kiri menjadi ke kanan karena peranan penting para aktivis KAMI didukung Kostrad yang pada saat itu dipimpin perwira radikal anti Soekarno. Sementara perubahan politik 1998 yang berjalan sampai hari ini tidak lebih dari pergantian kekuasaan dan kompromi elit politik lama dan baru.
Para aktivis pro demokrasi angkatan 1998 belum mendapatkan peran signifikan sebagaimana senior angkatan 1966. Agenda dan institusi demokrasi pada era Reformasi dibajak kepentingan elit yang hanya peduli dengan pergantian kekuasaan semata dan semakin abai dengan persoalan laten rakyat.
Jika demikian, hanya revolusi demokratis yang kita perlukan!
Panjang umur demokrasi!
_______________
Oleh: Hanief Adrian, peneliti IndeSo dan mahasiswa S2 Ilmu Politik FISIP UI
COMMENTS