Soedjatmoko, Sang Humanis, Rektor Universitas PBB, Tokyo dan Sang Dekan Intelektual Bebas
PIDATO DI DK-PBB New York 1947: Mantan PM Sjahrir, Haji Agus Salim, Soedjatmoko, Prof Sumitro Djojohadikusumo (ayah Menhan Prabowo) dan Charles Tambu.
Sosialisme Indonesia yang disuarakan Perdana Menteri Sutan Sjahrir (PM Sjahrir/Bapak Sosialisme Indonesia/Pemimpin PSI-Partai Sosialis Indonesia), ''berhembus dalam'' diartikulasikan oleh Soedjatmoko, cendekiawan terkemuka yang ramah, hangat dan lapang jiwa, yang pada usia lanjut pun, tulus setia menerima kehadiran aktivis mahasiswa dan aktivis muda pinggiran kurun 1980-an sampai wafatnya. Soedjatmoko adalah sparring partner dan sahabat akrab gurubesar FE-UI, Prof Sarbini Sumawinata MA, alumnus Harvard pertama di FE-UI.
Soedjatmoko, yang dipanggil oleh Menhan Prabowo Subianto, Ir Agustansil Ibong Syahruzah MPA (cucu Haji Agus Salim dan alumnus ITB/Harvard) dan Dokter Hariman Siregar (mantan Ketum Dewan Mahasiswa UI/Tokoh Demontrasi Malari 1974) sebagai ''Om Koko'', adalah pribadi yang hangat/sejuk dan sang humanis yang dihormati dan disegani dunia.
Prof DR Soedjatmoko pernah berpesan kepada Prof Nurcholish Madjid, dan KH Abdurrahman Wahid agar terus menjadi ulama pembaharu dengan segenap sukaduka dan resikonya, guna mendidik dan mencerahkan ummat Islam di kawasan urban/perkotaan (Cak Nur) dan kawasan rural/pedesaan (Gus Dur) menghadapi modernitas, menyongsong perubahan, dan globalisasi- demokratisasi. Agar kaum Muslim siap melakukan perubahan dan menghadapi ketidakpastian masa depan.
Soedjatmoko pernah belajar di pasca sarjana Harvard University, AS dan kelak kemudian menjadi profesor tamu di Cornell University, New York.
Arrival of the Indonesian UN delegation at the airport Right Foreign Minister Ruslan Abdoelgani, linking the Indonesian diplomat, politician and scientist Soedjatmoko Date: October 27, 1966 Location: North Holland, Schiphol Keywords: arrival and departure, delegates airports Person Name: Abdoelgani, Ruslan Captions are provided by our contributors.
Tidak hanya Ki Hajar Dewantara tokoh pendidikan yang berjuang demi kemajuan pendidikan Indonesia. Ada sosok lain yang serupa dan yang juga penuh prestasi membanggakan sebagai anak bangsa kita, beliau itu Soedjatmoko. Publik belum lupa bahwa Pak Koko (Soedjatmoko) menurut aktivis Angkatan 1966 Dr Nono Anwar Makarim SH (mantan Direktur LP3ES/Pemred harian KAMI dan jurnal Prisma) adalah Sang Dekan intelektual bebas Indonesia.
Soedjatmoko adalah mantan duta besar dan intelektual Indonesia yang menjadi rektor kedua di United Nations (PBB) University di Tokyo , Jepang pada September 1980. Beliau ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB dalam konsultasinya dengan Direktur Jenderal UNESCO untuk menggantikan rektor pertama, Dr James M. Hester.
Soedjatmoko lahir dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat. Sekitar tahun 1946an, beliau tidak lagi menggunakan nama Mangoendiningrat, sebab nama ayahnya itu membuatnya teringat akan aspek feodalisme dalam budaya Indonesia. Seoedjatmoko memang berasal dari keluarga bangsawan Madiun-Jatim, dan Bung Koko lahir di Sawahlunto, Sumatra Barat.
Pada tahun 1943, ketika menempuh pendidikan Kedokteran di Jakarta, beliau dikeluarkan dari Sekolah Kedokteran karena keterlibatannya dalam protes terhadap pendudukan Jepang dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Sutan Sjahrir. Kemudian beliau pun pindah ke Surakarta dan membuka praktik pengobatan bersama ayahnya.
Pada tahun 1947, setelah kemerdekaan Indonesia, Soedjatmoko dan dua pemuda lain dikirim untuk mewakili Indonesia di United Nations (PBB) di Lake Success, New York, Amerika Serikat.
Soedjatmoko dan kelompoknya tinggal di Lake Success, New York yang merupakan lokasi sementara PBB pada saat itu, dan mengikuti debat mengenai pengakuan Indonesia oleh negara lain. Menjelang akhir waktunya di New York, Soedjatmoko masuk di Littauer Center milik Harvard; karena pada saat itu ia masih merupakan anggota delegasi PBB, ia harus pulang-pergi antara New York dan Boston selama tujuh bulan masa kuliahnya. Setelah dibebastugaskan dari delegasi, Soedjatmoko menghabiskan hampir satu tahun di Littauer Center; namun, kuliahnya itu terganggu ketika selama tiga bulan ia menjadi chargé d'affaires–yang pertama untuk Indonesia–di bagian Hindia Belanda di Kedutaaan Besar Belanda di London, Inggris. Ia menjabat sementara selagi kedutaan besar Indonesia dibentuk.
Pada tahun 1951, Soedjatmoko pindah ke Washington D.C. untuk mendirikan seksi politik di Kedutaan Besar Republik Indonesia di kota itu; ia juga menjadi Wakil Indonesia Alternat di PBB. Jadwal yang padat ini memerlukan banyak waktu untuk perjalanan antara tiga kota itu, dan dianggap terlalu berat sehingga Soedjatmoko mengundurkan diri dari kuliahnya di Litteaur Center, Harvard University. Pada akhir tahun 1951, ia mengundurkan diri dari pekerjaan lainnya dan pergi ke Eropa selama sembilan bulan, mencari ilham politik. Di Yugoslavia, ia bertemu dengan Milovan Djilas yang membuatnya kagum.
Pada tahun 1952 beliau kembali ke Indonesia dan bergabung dengan pers sosialis dan Partai Sosialis Indonesia. Soedjatmoko terpilih sebagai anggota Konstituante (1955-1959). Seiring berjalannya waktu, pemerintahan Presiden Soekarno menjadi semakin otoriter, Soedjatmoko mulai mengkritik pemerintah. Untuk menghindari penyensoran, Soedjatmoko bekerja sebagai dosen tamu di Cornell University di Ithaca, New York, selama dua tahun.
Soedjatmoko baru kembali bekerja ke Indonesia setelah kegagalan Gerakan 30 September dan lengsernya Soekarno digantikan Soeharto menjadi presiden Indonesia. Beliau sebagai salah satu wakil Indonesia di PBB (1966), kemudian menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat (1968) dan pada waktu yang sama beliau mendapatkan beberapa gelar doktor honoris causa (HC), antara lain dari Yale University, AS, Cedar Crest College AS, dan Universiti Sains Malaysia.
Pria yang akrab disapa dengan panggilan Bung Koko ini pernah menjadi penasehat untuk Menteri Luar Negeri Adam Malik. Beliau juga sempat menjadi anggota beberapa wadah pemikir di tahun 1970an. Setelah peristiwa Malari pada Januari 1974, Soedjatmoko ditangkap dan diinterogasi karena diduga menjadi perencana tindakan protes tersebut. Beliau akhirnya dibebaskan dengan catatan tidak dapat keluar negeri selama dua setengah tahun lamanya. Pada tahun 1978 Soedjatmoko menerima Penghargaan Ramon Masaysay untuk Hubungan Internasional, dan pada tahun 1980 beliau diangkat sebagai rektor United Nations University di Tokyo, Jepang.
Soedjatmoko baru kembali bekerja
ke Indonesia setelah kegagalan Gerakan 30 September dan lengsernya Soekarno
digantikan Soeharto menjadi presiden Indonesia. Beliau sebagai salah satu wakil
Indonesia di PBB (1966), kemudian menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika
Serikat (1968) dan pada waktu yang sama beliau mendapatkan beberapa gelar
doktor kehormatan.
Pria yang
akrab disapa dengan panggilan Bung Koko ini pernah menjadi penasehat untuk
Menteri Luar Negeri Adam Malik. Beliau juga sempat menjadi anggota beberapa
wadah pemikir di tahun 1970an. Setelah peristiwa Malari pada Januari
1974, Soedjatmoko ditangkap
dan diinterogasi karena diduga menjadi perencana tindakan protes tersebut.
Beliau akhirnya dibebaskan dengan catatan tidak dapat keluar negeri selama dua
setengah tahun lamanya. Pada tahun 1978 Soedjatmoko menerima
Penghargaan Ramon Masaysay untuk Hubungan Internasional, dan pada tahun 1980
beliau diangkat sebagai rektor United Nations University di Tokyo, Jepang.
Bila diingat lagi ada hal-hal yang ketika disebutkan dapat dianggap justifikasi, pembenaran kepada diri saya sendiri. Misalnya terkait partai yang dibubarkan Presiden Soekarno atau aktivitas perjuangan yang dianggap tidak penting sehingga luput dari pelajaran sejarah, misalnya idenya tentang bentuk negara federal. Apapun alasannya ada kondisi yang membuat saya dijauhkan dari informasi tentang pandangan dan pemikiran visioner Soedjatmoko.
Teringat oleh saya ada seorang teman aktivis yang bilang ' dia sahabatnya Mac arthur' dengan tone yang tendesius "negatif". Ada juga yang bilang bagi kaum PSI yang pintar cuma Soedjatmoko. Hal ini terkait pujian banyak pihak tentang Soekarno yang dianggap mampu menandinginya hanya Soedjatmoko. Ketika akhirnya berkesempatan membaca biografi Soedjatmoko Pergumulan Intelektual yang ditulis M. Nursam tahu lah saya, bahwa Soedjamoko, ada kebenarannya juga. Bila Bung Karno, Bung Hatta mewakili Angkatan Tua 1945, maka Soedjatmoko dan kaum muda pejuang revolusi kemerdekaan lain seperti Sukarni, Chairul Saleh, Hanafi mewakili Angkatan 45 kaum mudanya.
Para pejuang ini di Jakarta selama pendudukan Jepang berkordinasi dan rapat-rapat di daerah Menteng Jakarta Pusat. Menteng 31 (sekarang Gedoeng Joeang) , Menteng 71 (Bapperpi) Badan Perwakilan Pelajar Indonesia, Prapatan 10 (belajar pada Syahrir). Para pemuda yang tergabung di dalam posko-posko tersebut berjuang baik secara diplomasi maupun angkat senjata. Pertempuran dengan Belanda juga dijalani oleh pemuda dari gabungan ini beberapa orang meninggal dunia dalam pertempuran di Jakarta. Kisah petempuran yang terkenal Kerawang Bekasi, namun di Jakarta termasuk di wilayah Matraman kini adalah ajang pertempuran. Perempuan Indonesia mendukung logistik Pejuang Indonesia, diantaranya diorganisir oleh WANI yang membawa ribuan telur asin dalam besek besar dari Cirebon dengan kereta untuk pejuang di Jakarta, namun sayangnya diturunkan di Bekasi oleh tentara, hingga akhirnya diganti dengan uang untuk membeli lagi. (Sujatin Kartowijono, Mencari Makna Hidupku., dikisahkan kembali oleh Hanna Rambe, 1983)
Soedjatmoko pada jaman penjajahan Jepang melawan, lalu dipenjara. Walaupun satu bulan dipenjara, efek psikologisnya tidak menyenangkan dan lebih menyakitkan, ia tidak dapat melanjutkan sekolah kedokterannya. Meski hal itu tak menyurutkan perjuangannya, pada awal tahun 1944, ia bersama dua temannya sesama pejuang kaum muda menghadap Soekarno untuk mencabut mandatnya, menarik kepercayaan, karena kaum muda menganggap bahwa Soekarno berkoraborasi dengan Jepang dan fasis. Namun tak lama sesudahnya, Soekarno memberi penjelasan mengapa berhubungan dengan Jepang, yaitu ada 3 hal yang tidak dijanjikan akan diberikan oleh Belanda yaitu: Kemerdekaan, Parlemen dan Membentuk tentara. Dan adalah Soedjatmoko termasuk seorang yang Soekarno ramalkan akan jadi orang besar..
Sepak terjang selanjutnya Soedjatmoko banyak sekali, melanjutkan melanglang dunia sebagai pegawai Deplu, Jurnalis, sebagai Dubes, dan Rektor Universitas Perserikatan Bangsa-bangsa dan intelektual bebas. Sekian banyak kiprahnya, tapi apakah dalam mata kuliah jurusan Hubungan Internasional disampaikan fakta sejarah bahwa ada anak muda yang mempersiapkan berdirinya kantor Kedutaan Besar Indonesia untuk Amerika Serikat dan Kedutaan Besar Indonesia untuk Inggris, adalah Soedjatmoko yang masih bujangan melakukannya.
Soedjatmoko juga berperan aktif dalam perdebatan internasional mengenai isu-isu global. Ia menjadi anggota Independence Commission on Disarmament and Security Issues (Komisi Perlucutan Senjata dan Persoalan Keamanan), Palme Commission, Independent Commission on the International Humanitarian Issues (Komisi Independen tentang Persoalan Bantuan Kemanusiaan) dan The Club of Rome. Cukup lama Soedjatmoko pegang andil sebagai wali amanah pada Aspen Institute of Humanistic Studies dan Ford Foundation. Ia juga sempat menjalankan peran dalam kepengurusan Insitute for Environment and Development.
Soedjatmoko pernah bertugas dalam Board of Governors pada lembaga International Development Research Center (IDRC) Canada (1973-1977), selain di Asian Institute of Management (1972-1975), dan pernah menjadi anggota Board of Visitors pada Departemen Ekonomi dari Boston University (1980-1987). Ia juga pernah jadi anggota dari Society for International Institute for Strategic Studies di London.
Dari tahun 1972-1980, bersama John D.Rockefeller III dan Sabura Okita, Soedjatmoko berperan sebagai penyelenggara pertemuan-pertemuan tahunan yang digagas oleh Asia Society di Williamsburg, Amerika Serikat, untuk membahas persoalan-persoalan di Asia dan Pasifik.
Soedjatmoko juga terlibat dalam beberapa organisasi budaya dan akademis. Antara lain, ia menjadi International Fellow di American Academy of Arts and Sciences, anggota kehormatan Siam Society, Bangkok, Thailand, dan juga pernah menjadi anggota Akademi Jakarta dan dua kali menjadi anggota Master Jury bagi Penghargaan Agha Khan untuk arsitektur.
Tahun 1978 Soedjatmoko menerima Ramon Magsaysay Award untuk International Understanding (kadang disebut Hadiah Nobel Asia). Kutipan yang menyertainya sebagai berikut: “Situasi para pemikir independen yang berkiprah di tengah gejolak politik Asia yang sedang berkembang penuh kerentanan. Adalah pertanda komitmen positif Soedjatmoko bahwa kepentingan diri tidak menghalangi ekspresinya yang terus terang. Ia juga tidak membiarkan keanggotaannya di berbagai forum dan organisasi internasional terkemuka untuk menjauhkan keprihatinannya atas realitas kehidupan desa di Indonesia.” Tulisan-tulilsannya, menurut kutipan ini, telah memperkaya “bangunan pemikiran internasional tentang apa yang bisa dilakukan untuk memenuhi salah satu tantangan terbesar di masa kita: bagaimana membuat hidup lebih layak dan memuaskan bagi 40% warga termiskin di Asia Tenggara dan Asia Selatan. Dalam prosesnya dia menstimulasi orang lain untuk mempertajam persepsi mereka dan membuat upaya pemerintah dan swasta menjadi lebih relevan.”
Tahun 1985 Soedjatmoko menerima Asia Society Award, yang diberikan kepada empat individu yang telah memberikan kontribusi luar biasa di bidangnya masing-masing dalam meningkatkan pemahaman tentang kawasan Asia Pasifik.
Soedjatmoko juga menerima gelar kerhomatan dari Yale University, Georgetown, Cedar Crest College and Williams College di Amerika Serikat; Kwansei Gakuin University di Jepang; Asian Institute of Techology di Thailand; dan, Universiti Sains Malaysia.
Di Indonesia, Soedjatmoko menerima Piagam Anugerah Pendidikan, Pengabdian dan Ilmu Pengetahuan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mashuri, pada tahun 1971; Piagam Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama dari Presiden Soeharto pada tahun 1995; serta, Piagam Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Joko Widodo dan Gelar Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, pada tahun 2017.
Soedjatmoko menikah tahun 1957 dengan Ratmini Gandasubrata. Keduanya memiliki tiga orang putri: Kamala Chandrakirana, Isna Marifa, Galuh Wandita.
Beberapa dasawarsa lewat ternyata saya baru diberi jatah olehNya untuk mengenal Beliau sekarang, melalui tulisannya yang meskipun berisi namun tak melulu logika kaku, banyak tulisannya memakai kata yang mencerminkan ''rasa'', bagi para pembacanya.
Ditulis Oleh Umi Lasminah, pemerhati sejarah, seorang sarjana ilmu Sejarah. Editor tamu : Herdi Sahrasad.
(Berbagai sumber: Konfrontasi/ Membacasoedjatmoko/com /Kompasiana.com/KCM)
COMMENTS