Catatan Redaksi: Artikel ini
sebelumnya berjudul ” Pidato Perdana Menteri Sutan Sjahrir di Lake Success, 14
Agustus 1947″. Namun setelah melakukan tinjauan sejarah, diketahui bahwa Sutan
Sjahrir telah meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri RI pada 3 Juli 1947 yang
kemudian digantikan oleh Amir Sjarifuddin. Jabatan resmi yang disandang oleh
Sutan Sjahrir pada pertemuan di markas Perserikatan Bangsa Bangsa-PBB, Lake Success, New York 14 Agustus 1947 ini
adalah Duta Besar Keliling Republik Indonesia. Artikel ini dialihbahasakan oleh Gulardi Nurbintoro, seorang diplomat di Kementrian Luar Negeri RI dan telah disesuaikan
dengan fakta sejarah dimaksud.
Dalam upaya mempertahankan kemerdekaan yang di proklamasikan 17 Agustus 1945, Pemerintah Indonesia menggunakan upaya diplomasi untuk memperjuangkan pengakuan internasional atas eksistensi Republik Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus 1947, di depan Dewan Keamanan, Duta Besar Sutan Sjahrir, berpidato menyampaikan posisi Pemerintah Republik Indonesia. Sehari kemudian, New York Herald Tribune menobatkan pidato Sjahrir ini sebagai “salah satu yang paling menggetarkan Dewan Keamanan PBB”.
Pidato Sjahrir di DK PBB New York 1947
Pertama kali saya mengetahui mengenai pidato ini adalah ketika membaca majalah
Tempo, mungkin sekitar 10 tahun yang lalu. Tetapi baru tahun 2014 ini saya
berhasil mendapatkan transkrip resmi dalam Bahasa Inggris setelah melakukan
korespondensi dengan pihak Perpustakaan Dag Hammarskjold – PBB.
Simak Video Sjahrir dll ini
Mengingat pentingnya pidato Duta Besar Sjahrir ini dalam sejarah Indonesia,
saya mencoba untuk menerjemahkannya secara utuh ke dalam Bahasa Indonesia.
Mungkin ini merupakan terjemahan pertama dari pidato Bung Sjahrir di Lake
Success tersebut ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga harapan saya adalah ke
depan akan ada orang-orang yang berkenan untuk menyempurnakan terjemahan saya
ini:
[Pidato Tuan Sjahrir,
Indonesia] :
Pertama-tama, atas nama
Pemerintah Republik Indonesia, saya ucapkan terima kasih kepada Presiden dan
anggota Dewan Keamanan atas keadilan yang ditunjukkan dengan memberikan saya
kesempatan untuk berpartisipasi pada diskusi-diskusi Dewan Keamanan mengenai
permasalahan Indonesia.
Dalam kapasitas kami sebagai
wakil dari Pemerintah Republik Indonesia, saya akan berbicara kepada anggota
Dewan Keamanan mewakili sebuah negara yang, bagi masyarakat di dunia Barat,
baru saja terlahir, atau bahkan sebagai wakil dari rakyat yang sedang menapaki
jalan menjadi suatu negara. Dengan demikian, adalah tepat kiranya bagi saya
untuk menyampaikan bahwa saya di sini mewakili rakyat yang memiliki sejarah
lebih dari seribu tahun.
Di Abad ke-14, rakyat kami
adalah bagian dari Kerajaan Majapahit yang terdiri dari pulau-pulau di Asia
Tenggara dan terbentang dari Papua hingga ke Madagaskar. Kerajaan ini memiliki
administrasi yang efektif, dan memiliki hubungan dengan negara-negara yang jauh
seperti China dan Eropa. Di Abad ke-16, rakyat kami pertama kali bersentuhan
dengan masyarakat Barat. Sangat disayangkan bahwa pertemuan ini terjadi ketika kami
sedang berada dalam kemunduran. Pengaruh Barat mulai terasa dan semakin
meningkat seiring dengan semakin mundurnya keberadaan kami.
Ekspansi cepat kekuatan Barat
mendorong kemunduran dan jatuhnya rakyat kami, dan dalam prosesnya negara kami
kehilangan kemerdekaannya. Pada saat itulah, Perusahaan Hindia Timur Belanda
(VOC – penulis) berdiri. Kelak, VOC berubah menjadi Pemerintah Kolonial Belanda
dan terus bertahan hingga hampir satu setengah abad. Pada saat tersebut,
kemunduran bangsa kami telah mencapai klimaksnya. Faktor-faktor tersebut harus
diperhitungkan dalam evaluasi hubungan kami dengan Belanda. Perlu pula diingat,
bahwa sebagai bangsa, kami memiliki sejarah dan tradisi kami sendiri –baik
sebagai bangsa maupun negara- yang berusia beberapa abad.
Buku sejarah kami dan
relief-relief yang tercecer di berbagai pulau menjadi bukti dari peradaban dan
budaya yang kami miliki di masa silam. Namun, di bawah Belanda dan kekuasaan
kolonial, sejarah kami berubah secara tragis. Penindasan dan eksploitasi Belanda
tidak hanya berakibat pada kemunduran dan ketertinggalan kami, tetapi juga
mengakibatkan hancurnya negara kami dari sebuah tempat yang tadinya merupakan
kebanggaan masa silam menjadi suatu koloni lemah yang tak bermakna.
Lama sesudah kami sebagai
bangsa, dapat dikatakan, hilang dari muka bumi, kebangkitan politik di Asia,
serta lahirnya kembali kawasan Timur, turut pula memberikan pengaruh kepada
kami. Di akhir Abad ke-19 kami mulai mengambil kembali jiwa kami, dan
melahirkan suatu pergerakan nasional yang bertujuan untuk membebaskan diri dari
kekuasaan kolonial Belanda. Sejak saat itu, telah menjadi keinginan kami, suatu
perjuangan, untuk kembali menjadi satu bangsa lagi.
Pada 1918, pergerakan nasional
kami telah menjadi suatu kekuatan besar, dan keinginan untuk membebaskan
Indonesia dari kekuasaan Belanda menjadi suatu keinginan universal.
Sejalan dengan mereka yang
berpartisipasi dalam gerakan-gerakan serupa di negara lain, rakyat kami
mengerahkan seluruh energinya untuk mencapai kemerdekaan. Namun sebagaimana di
negara-negara lain, pergerakan nasional tidaklah populer bagi penguasa
kolonial. Kaum nasionalis dipenjara dan dibuang, namun perjuangan terus
berjalan. Tahun 1926, Belanda menjalankan serangan militer besar-besaran
terhadap Indonesia. Mereka yang ditangkap namun tidak bisa dijatuhi hukuman
oleh pengadilan kemudian dikirim ke kamp konsentrasi Belanda di Papua. Dan
dengan melihat bahwa tindakan opresif terhadap kaum nasionalis dilakukan di
seluruh Nusantara, maka dapat diperkirakan bahwa perlawanan terhadap Belanda
terjadi secara menyebar.
Ketika Jepang menyerang Belanda
di Asia, pergerakan nasional kami telah berdiri selama beberapa dekade di
seluruh pulau Nusantara. Sejak 1918 pergerakan nasional untuk kemerdekaan telah
memilih demokrasi sebagai tujuan negara dari seluruh ideologi politik yang ada.
Di Perang Dunia ke-II, kami menempatkan keyakinan kami pada negara-negara
demokrasi dalam perjuangannya melawan negara-negara fasis. Sejalan dengan hal
tersebut, kami telah menawarkan kepada Pemerintah kolonial Belanda untuk
menerjunkan pergerakan nasional kami dalam peran aktif dalam perang tersebut.
Tawaran kami tersebut ditolak oleh Belanda, sehingga menghancurkan peluang
bagus untuk menciptakan suatu hubungan baru yang lebih baik.
Di saat tentara Belanda
ditaklukkan oleh Jepang, rakyat Indonesia tidak diberikan kesempatan oleh
Belanda untuk memanifestasikan, sebagai rakyat, sikap dan keinginannya dalam
hubungan global. Pada akhirnya kami dikorbankan kepada kekuasaan Jepang.
Hasilnya adalah penderitaan rakyat kami selama 3,5 tahun, dan semua yang
terjadi selama pendudukan Jepang merupakan tanggungjawab Belanda. Penderitaan
kami tidak sama sekali lebih ringan dibandingkan negara-negara lain yang juga
turut jatuh ke dalam rezim fasis.
Selama pendudukan Jepang,
pemerintah nasional kami secara terus menerus mencari peluang untuk menyusun
diri sebagai suatu kekuatan untuk mengakhiri dominasi Jepang. Kami berkeyakinan
bahwa demokrasi ditakdirkan untuk menang. Rakyat kami menaruh kepercayaan
kepada janji-janji yang tercantum di Piagam Atlantik; ia memiliki arti bagi
kami bahwa kami akan dibebaskan dari dominasi kolonial. Jepang sangat ingin
untuk mengatasi kaum nasionalis, namun rakyat kami berketetapan untuk menjadi
suatu bangsa yang utuh dengan menolak segala bentuk kekuasaan asing.
Ketika di pertengahan 1945,
dimana sangat jelas bahwa Jepang akan kalah perang, pergerakan demokrasi
Indonesia mengambil langkah atas nama rakyat dan mengambil masa depan di tangan
mereka sendiri. Oleh sebab itu, pertemuan antara pemimpin-pemimpin Indonesia
dengan Jepang di Saigon pada bulan Juli 1945 bukan menjadi akar dari konstitusi
Republik Indonesia; kelahiran Republik merupakan hasil dari upaya aktif
pergerakan nasional di negara kami.
Dapat dibuktikan bahwa dalam
pertemuan di Saigon, dan juga kemudian hari, Jepang tidak memiliki niatan tulus
untuk menjadi suatu Indonesia yang bebas, jangankan berpikir tentang Republik
Indonesia merdeka. Sebaliknya, beberapa waktu sebelum menyerahnya Jepang,
terdapat indikasi kuat bahwa Jepang mencoba untuk menghalangi pergerakan
Indonesia sampai dengan titik akhir. Pada Februari 1945, terjadi suatu
pemberontakan oleh pasukan Indonesia yang bernaung di dalam Pasukan Pembela
Tanah Air di bawah kepemimpinan Jepang. Selanjutnya Jepang mulai melucuti
senjata seluruh pasukan Indonesia.
Sepanjang pengetahuan saya,
dapat saya katakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus
1945, merupakan suatu hasil dari pergerakan demokrasi yang telah saya
sampaikan. Dari kota besar hingga dusun terkecil, rakyat mengambil alih
kekuasaan dari tangan Jepang dan menyerahkannya kepada Republik. Apakah pernah
ada dalam sejarah suatu negara sedemokratis ini, dimana rakyat, yang telah
mengambil alih kekuasaan, kemudian menyerahkannya kepada pemerintahnya sebagai
otoritas yang berwenang?
Duapuluh empat bulan terakhir
telah menunjukkan keinginan dan impian luar biasa rakyat Indonesia untuk
mendirikan suatu negara yang damai. Rakyat menyerahkan kepada Pemerintah
senjata yang telah mereka rebut dari Jepang, sehingga tentara Republik dapat
dibentuk.
Ketika tentara Sekutu mendarat
di Indonesia, rakyat menganggap mereka sebagai sahabat yang datang untuk
melikuidasi pendudukan Jepang. Oleh sebab itu, kedatangan tentara Sekutu
diterima secara bersahabat. Tidak sedikitpun timbul dalam benak rakyat kami
bahwa pasukan dari negara-negara demokrasi akan membahayakan kemerdekaan
Republik yang telah dimenangkan oleh rakyat Indonesia sendiri.
Puluhan ribu warga negara
Belanda yang berada di kamp konsentrasi Jepang tidak dianggap sebagai musuh
oleh Indonesia. Masalah baru tercipta ketika beberapa ratus tentara Belanda
yang mendarat bersama-sama dengan tentara Inggris bersalah atas berbagai
kejahatan di Batavia. Barulah saat itu rakyat kami mulai mempertanyakan dan
tidak mempercayai sikap Belanda terhadap Republik.
Puluhan ribu warga Belanda
masih berada di kamp konsentrasi Jepang. Ketika serdadu Belanda membuat
keributan di Batavia, tentara Sekutu menjadi sasaran kecurigaan. Pertempuran
meletus di Surabaya dalam skala besar. Dengan mendaratnya tentara Belanda dalam
jumlah besar di Jawa, hubungan semakin memburuk antara Republik dan tentara
Sekutu. Pertempuran semakin sering terjadi dan suasana mencekam.
Meskipun demikian, dalam
situasi seperti itu, Republik yang masih muda tetap menjalankan tujuannya untuk
mencapai perdamaian dan keamanan. Di saat yang sama kami juga membantu tentara
pendudukan Sekutu untuk menjalankan tugasnya di Jawa dan Sumatra. Dalam kurun
waktu 14 bulan, Republik berhasil melucuti 70,000 tentara Jepang dan
mengevakuasi mereka keluar dari wilayah Republik. Selain itu Repblik juga telah
mengevakuasi lebih dari 30,000 tentara Belanda dan tawanan sipil Sekutu
lainnya. Kedua tugas ini didelegasikan oleh Sekutu kepada pasukan Republik.
Dalam pernyataannya di depan
Dewan Keamanan di hari yang lalu, wakil Belanda menuduh Republik telah
menyandera 700 orang, namun tuduhan ini tidak memiliki dasar kebenaran sama
sekali. Tidak ada lagi tawanan yang tersisa di wilayah Republik. Sandera yang
tiba-tiba dikatakan oleh wakil Belanda tidak pernah diungkit atau disebutkan
sebelumnya dalam pernyataan resmi Belanda, baik di Indonesia maupun di Belanda.
Pekerjaan yang dituntaskan oleh
Republik dalam mengevakuasi puluhan ribu tawanan perang Jepang, baik itu dari
Belanda maupun interniran Sekutu, menunjukkan gambaran baik perihal kedisplinan
dan kemampuan tentara Republik untuk menjalankan tugas yang diberikan. Hal ini
juga menunjukkan kemampuan Republik untuk memenuhi janjinya, dan kesediaannya
untuk memenuhi janji tersebut.
Ketika pegawai sipil Belanda
mendarat di Jawa bulan Oktober 1945, tidak ada tentara Belanda di sini. Seluruh
Jawa, Sumatra, dan Madura dikuasai penuh oleh Pemerintah Republik. Meskipun
dengan keunggulan militer yang dimiliki oleh Republik, Republik tetap beritikad
untuk bernegosiasi dengan Belanda. Sejak saat itu, Republik berulang kali
mencoba mencapai kesepahaman dengan Belanda. Belanda, pada awalnya, menolak
untuk berdiskusi sama sekali.
Akhirnya, bulan Maret 1946,
melalui intervensi aktif Pemerintah Inggris, telah tiba di Batavia Sir
Archibald Clark Kerr, Lord Inverchapel baru, yang ditugaskan untuk menjalankan
jasa-jasa baiknya bagi kedua pihak. Atas berkat kesabaran, dan kelihaian diplomat
Inggris- dan tidak lupa keinginan tulus Republik untuk mencapai kesepakatan
dengan Belanda- suatu rancangan persetujuan akhirnya dicapai. Saya, dalam
kapasitas sebagai Perdana Menteri, bertindak atas nama Republik; Tuan van Mook,
Letnan Gubernur Jenderal Belanda, bertindak atas nama Pemerintah Belanda.
Sembilan puluh persen dari
draft persetujuan ini merupakan buah pemikiran Tuan van Mook, namun Pemerintah
saya menerimana guna memfasilitasi penyelesaian sengketa secara cepat. Sir
Archibald Clark Kerr, sebuah delegasi Indonesia di bawah Tuan Suwandi, dan
delegasi Belanda yang dipimpin oleh Tuan van Mook bertolak ke Belanda untuk
mendapatkan persetujuan Pemerintah Belanda. Tuan van Mook menyatakan kepada
kami sebelum menuju Belanda, bahwa ia akan kembali dalam beberapa minggu dengan
membawa persetujuan Pemerintahnya. Namun kabinet Belanda secara bulat
mengabaikan draft tersebut. Dua bulan berlalu, sebelum Tuan van Mook kembali –
dengan proposal yang sama sekali baru.
Setelah kebuntuan dalam
negosiasi, dan melewati periode dimana terdapat peningkatan kegiatan militer
yang dilakukan oleh pasukan Belanda yang jumlahnya terus bertambah, telah tiba
waktunya bagi tentara Inggris untuk meninggalkan Indonesia. Lord Killearn,
Komisioner Khusus Inggris di Asia Tenggara, datang ke Indonesia sebagai
mediator dalam upaya baru untuk membawa kedua belah pihak menuju kesepakatan.
Itu terjadi sekitar Oktober
1946. Tidak lama setelah kedatangannya, pada 14 Oktober, perjanjian
ditandatangani dimana Pemerintah Belanda berjanji untuk tidak menambah
tentaranya di Indonesia melebihi jumlah kekuatan tentara Sekutu pada tanggal
tersebut, yakni 91,000 personil.
Setelah berminggu-minggu
berjalannya negosiasi antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda, dengan
ditengahi oleh Lord Killearn, suatu kompromi berhasil dicapai dan Persetujuan
Linggajati diparaf oleh kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, pada 15
November 1946. Komisi Jenderal Belanda, yang datang ke Indonesia dengan tujuan
menegosiasikan perjanjian, kemudian bertolak ke Belanda dengan tujuan akan
kembali sebelum Natal di tahun yang sama.
Komisi Jenderal pada akhirnya
kembali ke Indonesia, namun tidak lebih awal dari bulan Maret tahun ini, empat
bulan lebih lambat. Namun, mereka datang tidak untuk menandatangani Persetujuan
Linggajati. Mereka datang dengan tuntutan agar Republik menerima penafsiran
Persetujuan yang dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah Belanda. Penafsiran
ini dikenal dengan penafsiran Jonkman, diambil dari nama Menteri Koloni
Belanda. Republik menolak penafsiran Jonkman, dan setelah debat berkepanjangan,
Persetujuan akhirnya ditandatangani pada 25 Maret 1947, empat bulan sepuluh
hari setelah Persetujuan diparaf, dengan kesepahaman bahwa penafsiran Jonkman
tidak mengikat Republik.
Sementara itu, Belanda telah
melanggar status quo yang disepakati bulan Oktober. Belanda mengambil alih dan
menduduki kota Buitenzorg dan Palembang. Mereka memulai aksi militer skala
besar di Jawa Timur yang berujung pada pendudukan kota-kota Republik seperti
Sidoarjo dan Krijan oleh Belanda. Selain itu, aktivitas militer Belanda terus
meningkat. Di saat yang sama, Belanda mempertahankan blokade intensif atas
pelabuhan-pelabuhan Indonesia.
Terkait dengan hal tersebut,
patut diingat bahwa sebuah kapal dagang Amerika, the Martin Behrman, berlayar
menuju pelabuhan Indonesia, Cirebon, dengan persetujuan Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat di Washington. Kapal juga telah memperoleh izin dari Komisioner
Dagang Belanda di Washington untuk memuat barang di Cirebon. Meskipun telah ada
kesepakatan tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda tetap menyita kargo dari
Martin Behrman setelah selesai memuat barang di Cirebon.
Dalam menjalankan blokade ini,
Belanda tidak hanya menghalangi rekonstruksi dan rehabilitasi Indonesia, namun
juga sudah bertindak lebih jauh lagi dengan menyita obat-obatan yang berasal
dari luar negeri yang bertujuan ke Indonesia. Kapal, kebanyakan dimiliki oleh
China, yang berlayar antara pelabuhan-pelabuhan Singapura dan Indonesia, disita
di laut lepas di luar laut wilayah. Secara umum dapat dilihat bahwa blokade
Belanda bertujuan untuk menghambat perekonomian Republik.
Tapi itu tidak semua. Dua hari
sebelum ditandatanganinya Persetujuan Linggajati pada 25 Maret, tentara Belanda
meringsek dan menduduki kota Mojokerto di Jawa Timur. Pertempuran terjadi di
kawasan tersebut, dan konsekuensi dari aksi tersebut adalah kerusakan
barang-barang yang digambarkan dengan begitu menawan kepada Dewan Keamanan ini
oleh wakil Belanda pada 31 Juli siang.
Meski adanya pelanggaran
Belanda yang dilakukan berulang kali, dan walaupun kota Buitenzorg, Palembang,
Sidoarjo, Krijan, dan Mojokerto diduduki oleh tentara Belanda, Republik tetap
menandatangani Persetujuan Linggajati atas dasar keyakinan yang tulus bahwa
agresi Belanda akan diakhiri. Merupakan harapan kami, bahwa dengan situasi
politik yang lebih stabil, kami dapat berjalan terus guna menghadapi pekerjaan
yang lebih mendesak, yakni rekonstruksi dan rehabilitasi.
Salah satu dari butir-butir
yang disepakati antara Belanda dan Republik ketika Persetujuan Linggajati
diparaf di bulan November 1946 adalah Negara Indonesia Serikat akan dibentuk
secara bersama antara Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda.
Namun demikian, Pemerintah
Kolonial Belanda, tanpa sepengetahuan dan persetujuan Republik Indonesia serta
dengan melanggar Persetujuan, telah mendirikan negara boneka Negara Indonesia
Timur dan Negara Kalimantan Barat, bersama dengan entitas politik Belanda
lainnya di wilayah-wilayah Indonesia yang dikuasai oleh Belanda. Pembentukan
ini, sangatlah jelas, dilaksanakan dengan tujuan utama untuk digunakan sebagai
daya tawar terhadap Republik. Oleh karena fakta ini, tidaklah mengejutkan bahwa
wakil Belanda telah meminta Dewan Keamanan untuk mengizinkan pejabat-pejabat
dari yang dinamakan negara-negara tersebut untuk berada di sini untuk mendukung
pernyataannya. Orang-orang tersebut adalah wakil dari sistem feodal yang
dijalankan oleh Belanda. Orang-orang tersebut hanyalah pejabat, yang diangkat
dan disumpah untuk setia kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Setelah Persetujuan Linggajati
ditandatangani, timbul pertanyaan mengenai implementasi. Jelas tampak di sini
bahwa Pemerintah Belanda menggunakan penafsiran Jonkman, yang telah ditolak
oleh Republik karena dilakukan secara sepihak. Krisis baru berkembang dan memuncak
tanggal 28 Mei tahun ini, ketika Belanda mengeluarkan ultimatum meminta
Republik menerima proposal baru, yang didasarkan pada penafsiran Jonkman dari
Persetujuan Linggajati.
Republik menanggapi dengan
pernyataan balasan tertanggal 7 Juni, dimana Republik menyampaikan proposal
konstruktif yang didasarkan pada Persetujuan Linggajati yang asli.
Pada titik ini, perwakilan
Belanda mengindikasikan bahwa mereka tidak siap untuk bernegosiasi lebih lanjut
dengan kami. Setelah berulangkali tidak mencapai titik temu, Republik mengajak
Belanda untuk mengimplementasikan Pasal XVII dari Persetujuan, yang mengatur
tentang arbitrase. Permintaan Republik berulangkali diabaikan oleh Belanda.
Pada saat tersebut, kekuatan militer Belanda telah meningkat sebanyak 30,000 personil
lebih banyak dari 91,000 yang diizinkan, dan berkisar sekitar 120,000. Menjadi
jelas bahwa Belanda bersiap untuk menggunakan kekuatan militernya untuk memaksa
kami menyerah secara total. Kami, di sisi lain, yang sangat ingin untuk menjaga
perdamaian dengan harga apapun, mengalah pada hampir seluruh tuntutan Belanda,
meskipun bertentangan dengan Persetujuan Linggajati, kecuali pada beberapa
butir kecil. Diantaranya termasuk tuntutan Belanda agar dilakukan penunjukan
penjagaan bersama di wilayah-wilayah Republik.
Pada 19 Juli, kami dihadapkan
pada tuntutan-tuntutan lainnya, termasuk satu tuntutan dimana dalam 24 jam
seluruh tentara Republik harus mundur 10 kilometer dari posisinya. Dalam saat
itu, telah menjadi pengetahuan umum bahwa Belanda telah mengumpulkan kekuatan
yang besar di perbatasannya. Republik meminta waktu 24 jam untuk
mempertimbangkan tuntutan tersebut. Permintaan tersebut ditolak oleh Belanda.
Pada 20 Juli, Pemerintah
Republik, melalui Wakil Perdana Menteri, Tuan Gani, saat itu di Batavia,
menyampaikan permintaan tertulis kepada Pemerintah Kolonial Belanda dari
Republik untuk mengimplementasikan Pasal XVII Persetujuan Linggajati.
Pemerintah Kolonial Belanda menyampaikan dalam tanggapannya bahwa permintaan
Indonesia telah diteruskan kepada Pemerintah Belanda di Belanda. Saat itu pukul
8 malam tanggal 20 Juli. Pada pukul 11 di malam yang sama, satu jam sebelum
berakhirnya ultimatum Belanda, Tuan Gani menerima surat dari Tuan van Mook,
Pelaksana Gubernur Jenderal, yang menyatakan bahwa Pemerintah Belanda tidak
lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Itulah saat dimana Belanda
mengingkari Persetujuan Linggajati.
Secara bersamaan, tentara
Belanda memulai operasi militer terhadap Republik. Tentara Belanda mengambil
alih seluruh fasilitas komunikasi dan menangkap 200 tokoh Indonesia di Batavia.
Diantara yang ditangkap adalah Tuan Gani, yang oleh sebab itu –selain dari
minimnya fasilitas komunikasi – tidak dapat menyampaikan surat Belanda tersebut
kepada Pemerintah Republik di Yogyakarta.
Dengan adanya fakta-fakta
tersebut, nampak bahwa Pemerintah Belanda tidak pernah memiliki keinginan luhur
untuk menyelesaikan sengketa secara damai dengan Republik. Sebaliknya, seluruh
tindakan Belanda – secara politis, militer, dan ekonomi- tidak lain merupakan persiapan
bagi aksi agresif terhadap mitranya dalam perjanjian tersebut. Meskipun
Republik dipaksa untuk mempertahankan diri, secara militer, namun penyelesaian
secara damai masih tetap diharapkan. Pemerintah kami oleh sebab itu telah
meminta Dewan Keamanan untuk mengeluarkan perintah gencatan senjata dengan
janji bahwa Republik akan menaati keputusan Dewan Keamanan.
Mengingat Dewan Keamanan telah
menyerukan kedua belah pihak untuk mengakhiri permusuhan, dan mengingat kedua
belah pihak telah menerima perintah Dewan Keamanan, harapan Republik akan
solusi damai telah meningkat. Meskipun demikian, selama pasukan Belanda masih
berada di wilayah Republik, ancaman terhadap eksistensi Republik tetaplah ada,
dan juga ancaman terhadap perdamaian abadi. Oleh sebab itu, Republik Indonesia
meminta Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memerintahkan penarikan
penuh tentara Belanda dari seluruh wilayah Republik.
Dalam kaitannya dengan itu,
saya ingin merujuk kembali pada kondisi di Indonesia sesudah Republik didirikan
pada 17 Agustus 1945. Telah dinyatakan oleh semua pengamat bahwa hukum dan
ketertiban berjalan di seluruh negeri, bahwa roda pemerintahan telah berpindah
secara mulus, dan tidak ada satu insiden pun yang mengganggu hubungan baik
antara berbagai golongan rakyat.
Namun demikian, ketika tentara
Belanda mulai mendara di Indonesia, keseluruhan ini berubah. Ketentraman
menjadi tercabik-cabik. Konflik menerjang. Hukum dan ketertiban kacau dan
kebingungan serta ketidakpastian meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah
tentara Belanda di Indonesia. Konflik ini tidak terelakkan. Republik menyatakan
bahwa potensi konflik dan gangguan terhadap hukum dan ketertiban menjadi
berkali-kali lipat lebih besar degan keberadaan tentara Belanda di
kawasan-kawasan Republik. Republik juga menyatakan dengan tegas bahwa apabila
tentara Belanda ditarik seluruhnya dari kawasan Republik, maka situasi akan
kembali tercipta kehidupan damai dan terti, dan apabila hal ini dilakukan,
Republik menjamin Dewan Keamanan bahwa Republik akan bertanggungjawab atas
hukum dan ketertiban di seluruh wilayah Republik.
Republik dapat menghadirkan
saksi-saksi – orang Belanda maupun yang lain – untuk menunjukkan bahwa sebelum
terjadinya pendudukan Belanda terhadap wilayah Republik, ketidaktertiban hanya
terjadi sepanjang perbatasan, dimana pasukan Indonesia dan Belanda saling
berhadapan satu dengan lainnya. Di tempat-tempat lain, kehidupan berjalan
dengan tenang, damai, dan aman.
Langkah pertama pengembalian
hukum dan ketertiban di Indonesia adalah melalui penarikan tentara Belanda ke
posisi yang ditentukan oleh perjanjian gencatan senjata tanggal 14 Oktober
1946.
Republik Indonesia juga meminta
agar Dewan Keamanan menunjuk suatu komisi untuk segera berangkat ke Indonesia
guna mengawasi implementasi dari perintah Dewan Keamanan tertanggal 1 Agustus
mengenai pengakhiran permusuhan. Tentara Republik Indonesia menghentikan
tembakan tanpa syarat, namun tentara Belanda tetap meneruskan apa yang disebut
oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai “operasi pembersihan”. Selain itu,
laporan yang bertolak belakang mengenai situasi yang ada timbul dari kedua
belah pihak di Indonesia, dan ini membuat kehadiran komisi menjadi semakin
diharapkan guna mengawasi penghentian permusuhan dan melaporkan temuannya
kepada Dewan Keamanan, sehingga Dewan Keamanan memiliki laporan resmi yang
tidak memihak mengenai perkembangan situasi di Indonesia dari hari ke hari.
Selanjutnya, ketika penarikan
tentara Belanda ke posisi yang telah ditetapkan oleh perjanjian gencatan
senjata telah berlangsung, komisi ini dapat melaporkan perihal hukum dan
ketertiban di kawasan-kawasan yang telah diduduki oleh Belanda. Komisi ini juga
dapat memberikan masukan mengenai langkah-langkah yang perlu diambil untuk
memastikan agar hukum dan ketertiban tetap terjaga serta memastikan tidak
adanya tindakan-tindakan pembalasan. Dengan memperhatikan hal tersebut,
Republik Indonesia meminta Dewan Keamanan untuk menyelesaikan permasalahan
Indonesia ini dengan menunjuk suatu komisi yang berfungsi sebagai arbiter untuk
memutus butir-butir sengketa antara Pemerintah Republik Indonesia dan
Pemerintah Belanda sebagai satu-satunya cara untuk memastikan solusi damai dan
stabil terhadap permasalahan Indonesia ini.
Saya ingin agar dicatat bahwa
Pemerintah kami telah dengan senang hati menerima uluran tangan jasa baik
Pemerintah Amerika Serikat dan mediasi atau arbitrase Pemerintah Australia
sebagai langkah konstruktif menuju pembentukan komisi tersebut.
Sekali lagi saya ingin
menyampaikan komitmen Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana telah saya
utarakan di New Delhi, sebagai berikut: “ Saya mendapatkan wewenang untuk
menyatakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia akan menerima arbitrase apapun
yang imparsial, dan akan mematuhi seluruh keputusan Dewan Keamanan yang terkait
dengan kewajiban dan tanggungjawab yang dibebankan oleh Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa”.
Atas nama Pemerintah Republik
Indonesia, saya sampaikan terima kasih saya kepada Presiden dan para anggota
Dewan Keamanan atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbicara di
depan Dewan Keamanan PBB ini.
***
Diterjemahkan oleh Gulardi Nurbintoro, di Charlottesville, AS, 21 Maret 2014. Gulardi Nurbintoro, adalah diplomat muda, alumnus FH UI dan LLM dari Sekolah hukum University of Virginia, AS
Teks Resmi dalam
bahasa Inggris dan Prancis dapat diunduh di sini:
The
Indonesian Question_14 Agustus 1947
Mengenai Sjahrir, simak ini: Simak video PM Sjahrir ini, dan Simak Video PM Sjahrir berikut ini
(editor: herdi sahrasad)
COMMENTS