.

Melampaui Cak Nur: Metakritik terhadap Produk Pemikirannya

 






Catatan Redaksi: Dalam upaya mengembalikan kembali ruang pikiran dan ide secara aktual sebagai penghindaran dari bias pengkultusan epistemik, serta pengembalian tradisi reflektif pada pikiran dan realitas , Himpunan Mahasiswa Falsafah dan Agama (Paramasophia) Universitas Paramadina menyelenggarakan Dialog Epistemik (DETIK)  bertema: "Menggugat Cak Nur: Klise Pembaharuan Islam?" di Kampus Paramadina, Jakarta,Selasa, 27 September 2022. 

Para panelis dalam dialog akademis ini adalah  M. Abid Al Akbar, Ketua Dema UIN Jakarta 2022-2023 dan Abd. Rasyid Khalifah PIUSH ke-IX. Mengingat diskusi komunitas epistemik itu menarik, maka selengkapnya Redaksi turunkan makalahnya di bawah ini,semoga bermanfaat bagi pembaca.


Oleh Abd. Rasyid.1

 

Nurcholish Madjid (1939-2005) populer terutama sebagai pembaharu dan cendikiawan Islam Indonesia yang karya-karyanya menjadi rujukan dalam nomenklatur kajian studi Islam (Islamic studies) dan pemikiran Islam (Islamic thought). Produk pemikiran dan karya-karyanya memiliki signifikansi penting dan berkelindan pada isu- isu besar, seperti sekularisasi demokrasi, civil society, hak asasi manusia dan pluralisme (Munawar-Rachman, 2020). Pengakuan atas produk pemikiran Madjid tampak dalam obituari, tulisan-tulisan, ataupun kajian-kajian keislaman yang terus bermunculan pasca ia wafat pada tahun 2005. Ini menunjukkan bahwa apa-apa yang digagas oleh Madjid senantiasa suluh dan diperhitungkan.

Terobosan pemikiran Madjid itu sukses melampaui pemikiran komunal umat Islam pada masanya, sehingga, meski banyak mendapat pujian, gagasannya tidak sepi dari penolakan dan kritik. Salah satu kritik terhadap pemikiran Madjid, utamanya yang berkutat pada persoalan “sekularisasi”―suatu istilah yang ia gagas pada awal tahun 1970―ditanggapi sangat serius oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi dengan menerbitkan buku berjudul Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekularisasi.

Tidak berhenti di Rasjidi, kritik terhadap gagasan “sekularisasi” turut muncul dari murid Madjid sendiri, salah satunya Faisal Ismail (2009). Menurut penilaian Faisal, Madjid tidak melandaskan gagasan “sekularisasi”-nya pada epistemologi yang kokoh sebagaimana yang termuat dalam al-Quran dan Hadis. Faisal menyebut bahwa, tidak ada nash yang secara spesifik memerintahkan umat Islam untuk melakukan sekularisasi sebagaimana tawaran Madjid. Alih-alih mendasarkan idenya pada al-Quran, Faisal menilai Madjid telah melakukan upaya “legitimasi” atas gagasan “sekularisasi”-nya untuk mendapat pengakuan khalayak umum (Ismail, 2009).

Kritik atas “sekularisasi” adalah satu upaya kritis di antara sekian banyak gagasan produk pemikiran Madjid, yang pada saat bersamaan turut memungkinkan dan sangat terbuka untuk dikritik. Tulisan ini mengambil peluang untuk mendedah atau sekurang-kurangnya mengulas beberapa produk pemikiran Madjid yang lain, seperti “masyarakat madani/civil society”, serta idenya tentang “kemodernan dan pembangunan”.

 















Masyarakat Madani?

Salah satu gagasan Madjid yang berkelindan dengan demokrasi, berkaitan dengan apa yang ia sebut dengan masyarakat madani―hasil terjemahan dari civil society. Menurut Madjid, masyarakat madani diidealisasikan sebagai masyarakat modern yang berpartisipasi aktif dalam menciptakan peradaban. Dalam bahasa Madjid, masyarakat madani dianggap sebagai penerima manfaat (beneficiary) ketimbang sebuah kekuatan penghancur, yang di antara cirinya adalah pluralis, toleran, dan egalitarian.

“Walaupun begitu, civil society tidaklah menumbangkan pemerintahan […] Civil society lebih merupakan penerima manfaat (beneficiary) ketimbang sebuah kekuatan penghancur. Lebih dari itu, civil society sering diidealisasikan sebagai suatu kebaikan sempurna. Sama halnya dengan semua gejala sosial, civil society dapat, dan sering, punya sisi-sisi buruk. Sikap mementingkan diri sendiri, prasangka dan kebencian tidak jarang berjalan seiring dengan altruisme, sikap adil dan santun. Kiprah civil society yang bebas tak terkekang bukanlah suatu gagasan yang harus disambut hangat, melainkan pikiran yang sungguh mengerikan. Setiap chaos akan mudah menjadi dasar pembenaran tampilnya orang kuat yang hendak mengatasinya, sehingga civil society dengan kiprah bebas tak terkendali akan justru menciptakan lawannya sendiri, yaitu otoritarianisme seorang kuat,” (Madjid, Cita-cita Politik Islam, 2020).

 

Dalam tataran ideal, apa yang digagas oleh Madjid tentang civil society sepenuhnya dapat dibenarkan. Tetapi, adanya restriksi terhadap apa yang dimaksud “masyarakat madani” oleh Madjid tentu tidak lepas dari masalah. Madjid memang mengakui bahwa “masyarakat madani” tidak lepas dan senantiasa diliputi sisi buruk. Namun, diakhir pernyataannya, jika pembacaan saya tidak keliru, Madjid seolah ingin menegaskan sekaligus membatasi, bahwa sisi buruk itu tidak masuk dalam kategori masyarakat madani, melainkan hanya kekuatan penghancur dan cenderung mengarah pada tindak otoritarianisme.

Gagasan masyarakat madani Madjid tidak sejalan dengan apa yang ditawarkan Thomas Carothes terkait “masyarakat demokratis”; terjemah lain dari civil society. Menurut Carothes, kelompok anti-demokrasi yang bertindak chaos tetaplah masuk pada bagian masyarakat demokrasi itu sendiri (Jones, 2015). Penggunaan istilah masyarakat madani, pada akhirnya tidaklah menggambarkan masyarakat madani sebagai konsep sosiologis melainkan teologis.

Meski demikian, perbedaan itu tentu hanyalah perdebatan semantik yang tak perlu dibahas berlarut-larut. Lebih penting daripada itu ialah mencari langkah solutif untuk


menangani kelompok anti-demokrasi yang kerap melakukan tindak kekerasan, yaitu dengan menjadikan negara sebagai fasilitator yang baik dalam mengurai kekerasan di antara warganya (Bagir, Masyarakat Madani dan Kekerasan di Masa Demokrasi, 2015). Namun demikian, sampai sejauh ini, negara tak menjalankan fungsinya dengan baik, bahkan cenderung memperkeruh. Negara dengan sengaja melakukan pembiaran terjadinya intimidasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras terhadap kelompok yang minor. Cukup banyak kasus untuk membuktikan pembiaran negara itu, yang salah satunya tergambar pada kekerasan dan diskriminasi terhadap mereka yang secara administratif tidak mendapat pengakuan negara, misalnya penganut agama lokal dan penghayat kepercayaan.

Dalam kapasitas ini, tawaran Madjid perihal “masyarakat madani” dapat diidealkan dan mendapat relevansinya. Ia dapat diposisikan sebagai saran bagi pemerintah untuk menjadikan “masyarakat non-madani” sebagai satu kesatuan dari “masyarakat madani” itu sendiri. Sehingga mereka yang “non-madani”; anti-pluralis, intoleran, dan non-egalitarian tetaplah diposisikan sebagai warga negara yang berhak untuk mendapatkan fasilitas dan perlakukan yang sama, sebagaimana yang “madani” terima.






Pembangunan atau Krisis

Salah satu gagasan lain dari Madjid, menyangkut perihal pembangunan dan modernisasi. Dalam upaya untuk membangun masyarakat modern, Madjid menyebut bahwa diperlukan adanya upaya pembangunan yang ia sebut dengan peningkatan kemampuan ekonomi. Namun demikian, Madjid menyebut bahwa, ada yang perlu dihilangkan oleh masyarakat dalam upaya untuk membangun peningkatan ekonomi, yaitu paham keagamaan yang konservatif.

“Ajaran keagamaan semacam itulah yang merupakan sumber perintang masyarakat ke arah pembangunan. Konservatisme, dikarenakan orientasi tradisionalistisnya, memainkan peranan yang lebih besar dalam menciptakan halangan-halangan bagi pembangunan. Dan terlebih, saya percaya, adalah kejahilan masyarakat,” (Madjid, 2009).

 

Madjid menganggap bahwa penolakan terhadap adanya pembangunan sebagai sikap anti-modern dan dikategorikan sebagai kaum tradisionalis. Sejauh diukur memakai pandangan teologis, hal ini tentu dapat dimaklumi. Mengingat masyarakat beragama yang “modern” sebagaimana digambarkan Madjid adalah mereka yang pro terhadap pembangunan demi meningkatkan kondisi ekonominya. Tetapi, gagasan Madjid ini tidak


lepas dari cara pikir masyarakat modern yang kerap abai terhadap habitat dan kelestarian alam. Masyarakat modern menganggap penting pembangunan dengan dalih sebagai upaya modernisasi, tapi benarkah demikian yang dimaksud modern? Haruskah upaya modernisasi itu menanggalkan kepedulian terhadap ekologi lingkungan? Dan benarkah agama modern senantiasa menitikberatkan pada pembangunan?

Dalam bidang akademik, kajian perihal agama tidak pernah muncul bersamaan dengan kajian ekologi. Mula-mula ekologi hanyalah menjadi kajian atas relasi antar tanaman dan organisme hidup lainnya, tetapi saat lingkungan tempat tanaman dan organisme bertahan hidup mulai mengalami krisis, kajian atasnya berubah menjadi sebuah gerakan, bernama gerakan sosial lingkungan (environmentalis social movement).2 Terdapat beberapa alasan kuat untuk menyebut pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap lingkungan sebagai gerakan sosial (Giddens, 1990). Steven Yearley misalnya, mengidentifikasi bahwa terdapat ciri menonjol dari gerakan environmentalisme, yaitu perhatiannya terhadap arogansi sains, berangkat dari kesadaran kolektif; kritik dan solusi terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab atas krisis lingkungan (Yearley, 1994).

Diskursus kajian agama dan ekologi baru berkembang utamanya pada tahun 1960. Bagi Bagir, keterlibatan agama pada kajian ekologi salah satunya dilatarbelakangi oleh asumsi dan tuduhan bahwa agama turut-urun dan bertanggung jawab atas terjadinya kerusakan lingkungan. Lynn White misalnya, menyebut bahwa alasan agama disinyalir sebagai penyebab krisis ekologi mengakar pada dogma Kristianitas yang membedakan dan memposisikan manusia lebih superior ketimbang alam; manusia berhak untuk mengeksploitasi alam sesuai dengan kebutuhannya (White, 1967).

Tuduhan itu kemudian direspon secara kritis oleh filsuf Islam, Seyyed Hosein Nasr. Bagi Nasr, krisis lingkungan tidak mutlak terjadi karena faktor agama, melainkan berkelindan dengan krisis spiritual yang tumbuh pada manusia modern (the spiritual crisis of modern man). Sakralitas kosmos ditanggalkan begitu saja oleh manusia modern sebagai upaya untuk mendukung upaya modernisasi yang diproyeksikannya (Nasr, 1968).


Sepintas, jawaban Nasr itu adalah upaya untuk merespon “tantangan” dari artikel Lynn White yang menginginkan formula “agama baru” yang lebih sadar akan habitat lingkungan. Atas dasar itu, Nasr menawarkan formulasi baru pada apa yang ia sebut dengan “teofani”. Teori ini berpijak pada argumen bahwa, wujud Tuhan yang sakral secara tidak langsung termanifestasikan dalam bentuk kosmos. Teofani hendak mengarahkan dan menekankan hubungan korelatif antara alam, manusia, dan lingkungan. Dengan cara ini, krisis ekologi yang dianggap bermuara pada doktrin agama sedikit banyak dapat terminimalisir.

Menariknya, Bagir mengambil cara berbeda dari apa yang dipreskripsikan Nasr. Bagi Bagir, wacana teologis dan etis untuk teologi yang termuat dalam ajaran Islam sepenuhnya bersifat normatif―disimpulkan dari sumber-sumber kanonik; al-Qur’an dan Hadis. Ketimbang berulang-ulang pada penyesuain sumber, Bagir menawarkan preferensi lebih nyata (misalnya terkait etika pangan) dan harus menitikberatkan pada praktek langsung. Saran agar praktik ekologis tidak hanya mengimplementasikan teori- teori normatif, melainkan turut mengambil bagian dalam membentuk normativitas Islam, pertama-tama haruslah berpijak pada upaya pembedaan antara apa yang dikatakn teks dan apa yang dilakukan oleh umat Islam. Dengan mengutip Richard C. Foltz, Bagir menilai bahwa pembedaan itu dapat menentukan perbedaan tentang ekologi yang dikatakan Islam pada level teks dengan pandangan Muslim yang menyesuaikan dengan konteks (Bagir & Martiam, 2017).

Terlepas dari sinyalir bahwa krisis ekologi mengakar pada doktrin agama, cara pandang “modernisme” justru lebih dominan dan bertanggung jawab dalam menentukan krisis ekologi yang terjadi pada hari ini. Secara asertif, pola pikir modernisme memisahkan konsep kesetaraan antara alam dan manusia; alam dijadikan sebagai objek dan manusia sebagai subjek (Latour, 1991). Konstruk modernisme itu akan memaksa manusia modern untuk mendaku bahwa dirinya sebagai subyek pertama yang bersifat aktif, sekaligus menegaskan bahwa non-manusia lebih pantas dijadikan sebagai obyek yang pasif.

Pemahaman demikian pada akhirnya berefek sekaligus mendorong manusia untuk melakukan eksploitasi alam sesuka “nafsunya”, seperti penebangan hutan secara liar dan ledakan sampah pabrik yang bertebaran. Pemikiran modernitas yang paradoks itu


haruslah diubah pada pemikiran yang lebih konsruktif, yaitu menyeimbangkan posisi alam dan manusia. Samsul Maarif menyebut upaya penyeimbangan manusia dan alam dengan apa yang disebutnya dengan “hubungan intersubjektif/intersubjective relationship”, yaitu pola relasi yang mengandaikan bahwa antara alam sebagai makrokosmos tidak terbentuk secara dikotomis dengan manusia; subjek dan objek, melainkan saling berkontribusi sebagai sesama subjek. Dengan demikian apa-apa yang digagas oleh Madjid perihal modernisasi dan demikian patut untuk dipertimbangkan.

Kesimpulan

Kalaupun ada gagasan normatif yang melandasi penulisan naskah singkat ini, maka ia lebih merupakan dorongan bahwa kita—sebagai pembaca dan diri saya sendiri— menjalani upaya membangun pengetahuan tanpa mengasumsikan bahwa posisi pengetahuan yang kita pegang akan terbukti dan senantiasa benar. Yang perlu diupayakan adalah menjaga tetap terbukanya kemungkinan untuk mempertanyakan serangkaian pertanyaan mengenai pemikiran itu sendiri, dalam hal ini termasuk pemikiran Cak Nur; patron pemikir Islam yang warisan keilmuannya akan senantiasa suluh.



1 Disampaikan pada acara Dialog Epistemik yang digagas Himpunan Mahasiswa Falsafah dan Agama (Paramashopia), Universitas Paramadina bertajuk “Menggugat Cak Nur: Klise Pembaharuan Islam?” dilaksanakan pada Selasa, 27 September 2022 di Pelataran Anggon Universitas Paramadina

2 Gerakan lingkungan (environmentalism) mula-mula muncul pada abad ke-18 dengan menitik beratkan pada perhatian terhadap habitat alam dan kesadaran akan bahaya rusaknya alam. Anthony Giddens menyebut terdapat bencana ekologis yang ditimbulkan oleh tidak terkendalinya kerusakan alam, yang pada suatu waktu dapat mengancam eksistensi manusia di bumi ini.

 

References

Bagir, Z. A. (2015). Masyarakat Madani dan Kekerasan di Masa Demokrasi. In H. Mubarok, & I. R. (ed.), Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia (p. 36). Jakarta: PUSAD Paramadina.

Bagir, Z. A., & Martiam, N. (2017). Islam: Norms and Practices. In W. Jenkins, Routledge Handbook of Religion and Ecology (pp. 85-86). New York: Routledge.

Giddens, A. (1990). The Consequences of Modernity. Cambridge: Politiy.

 

Ismail, F. (2009). Membongkar Kerancuan Pemikiran Nurcholish Madjid Seputar Isu Sekularisasi dalam Islam. Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press.

Jones, S. (2015). Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran. In H. Mubarok, & I. R. (ed.), Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia (p. 3). Jakarta: PUSAD Paramadina.

Latour, B. (1991). We Have Never Been Modern. Cambridge: Harvard University Press. Madjid, N. (2009). Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.


Madjid, N. (2020). Cita-cita Politik Islam. In B. M.-R. (ed.), Karya Lengkap Nurcholish Madjd: Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemodernan (p. 3953). (Jakarta: , ), 3953: NCMS.

Munawar-Rachman, B. (2020). Membaca Karya-Karya Nurcholish Madjid dan Konteks Sosialnya. In B. M.-R. (ed.), Karya Lengkap Nurcholish Madjid: Keislaman Keindonesiaan, dan Kemodernan (p. xxix). Jakarta: Nurcholish Madjid Society (NCMS).

Nasr, S. H. (1968). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Mandala Unwin Paperbacks.

White, L. (1967). The Historical Roots of Our Ecologic Crisis. Science, 1203-1207.

 

Yearley, S. (1994). Social Movement and Enviromental Change. In M. Redclift, & T. Benton, Social Theory and the Global Environment (pp. 166-167). London: Routledge.

 

 

Nama

EKBIS,3301,ENGLISH,1330,FEED,34264,FOKUS,4326,GLOBAL,8900,HIBURAN,1920,HUKUM,3234,IPTEK,3747,NASIONAL,13306,OLAHRAGA,2044,OPINI,1248,POLITIK,3405,PROMOTE,4,RAGAM,9389,RELIGI,672,Z,29423,
ltr
item
Konfrontasi: Melampaui Cak Nur: Metakritik terhadap Produk Pemikirannya
Melampaui Cak Nur: Metakritik terhadap Produk Pemikirannya
https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhAaAZJ9qgYnEEr4s7dldQNnDKBDkl7G2LdGhsBrMk4O4iKj8tvapw6Je7VtwicC9g8Low9Umwjk41UFNwRtRrq2mAI0u2F9o74iOf8nBF4F8uFhmrg3clxn3Ipp8MKsFAmO0HtFXcSSQsqLZ8h2LO1UK4-R5PMzxIM6s18lXeSs1Dv_yLY2CeNqscBuw
https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEhAaAZJ9qgYnEEr4s7dldQNnDKBDkl7G2LdGhsBrMk4O4iKj8tvapw6Je7VtwicC9g8Low9Umwjk41UFNwRtRrq2mAI0u2F9o74iOf8nBF4F8uFhmrg3clxn3Ipp8MKsFAmO0HtFXcSSQsqLZ8h2LO1UK4-R5PMzxIM6s18lXeSs1Dv_yLY2CeNqscBuw=s72-c
Konfrontasi
https://www.konfrontasi.com/2022/09/melampaui-cak-nur-metakritik-terhadap.html
https://www.konfrontasi.com/
https://www.konfrontasi.com/
https://www.konfrontasi.com/2022/09/melampaui-cak-nur-metakritik-terhadap.html
true
7622946317735281371
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By HOME PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy