Oleh: Dhuha Hadiyansyah*
OPINI-Pemilu 2024 belum juga datang, tetapi atmosfer media sosial sudah mulai panas dengan saling hujat antarpendukung bakal calon presiden. Tak hanya individu yang menjadi sasaran haters, media siber yang mengabarkan berita pun tak luput dari cacian warga net atau netizen.
Data terbaru tahun 2022 menyebutkan sebanyak 73,7 persen orang Indonesia atau sekitar 205 juta orang sudah menggunakan Internet. Jadi, bisa dibayangkan jagat maya sudah seperti ruang publik terbuka, tempat semua orang berhak berbicara.
Sebagian orang tampak liar dalam memberikan komentar terkait isu tertentu. Karena sudah banyak yang melakukannya, sebagian orang menganggap itu wajar-wajar saja. Akan tetapi, apa yang sebenarnya terjadi di balik fenomena menghujat di dunia maya atau cyberbully?
Ada sejumlah sebab mengapa orang lebih berani melakukan perundungan di dunia maya. Pertama, anonimitas, yaitu menghujat di dunia maya tak memerlukan tatap muka, bahkan identitas pun bisa disamarkan atau dipalsukan. Sehingga, tak butuh banyak keberanian untuk menghujat orang. Jadi, jangan heran jika menemui ksatria keyboard begitu lihai mencecar target tanpa ampun.
Kedua, mereka tak tahu konsekwensi. Data di AS menyebutkan bahwa 81% remaja mengatakan bullying di media itu lucu. Karena tidak mengetahui dampak langsung terhadap sasaran, penghujat mungkin tak paham dampak yang ditimbulkannya. Jadi, bisa jadi mereka menghujat untuk lucu-lucuan belaka, maka tak heran jika mereka baru menyesal setelah ditangkap aparat dikenai UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik).
Ketiga, ada tekanan social. Sejumlah penghujat berpikir bahwa perilaku mereka normal dan secara sosial berterima karena anggota kelompok mereka juga melakukan hal serupa. Hal ini dapat kita cermati dari pendukung fanatik bakal calon presiden, misalnya.
Riset juga menemukan fakta bahwa orang yang dalam kehidupan nyata kurang sukses memiliki kemungkinan lebih besar untuk menjadi tukang umpat di dunia maya karena dapat membantu menaikkan harga diri mereka yang rendah selama ini; mereka pikir menghujat akan membantunya mendapatkan teman di kelompok yang diikuti; mereka tidak memiliki empati karena selama ini merasa hanya sedikit orang yang berempati kepada nasib mereka di dunia nyata.
Sejumlah riset melaporkan bahwa mereka yang gemar menghujat adalah orang-orang yang kurang kasih sayang dari orang tua, tak tertarik dengan belajar/sekolah, dan mengalami kecemasan atau depresi. Mereka selalu kesulitan mentaati aturan di mana pun mereka hidup.
Sementara itu, psikolog Allison Abrams dalam artikel berjudul “Why Do We Hate?” menyebutkan bahwa kebencian—sebagai dasar dari penghujatan—kepada yang lain muncul dalam diri seseorang karena ada rasa takut yang mencekam kepada orang lain, kecemasan terhadap diri sendiri, rendahnya kasih sayang, dan ada kehampaan di dalam diri.
Allison menyatakan bahwa kita terlahir dengan kapasitas cinta sekaligus agresivitas. Kecenderungan mana yang kita ambil merupakan pilihan. Kebencian terhadap yang lain dapat diatasi melalui pendidikan: di rumah, sekolah dan masyarakat.
Selanjutnya, dia menyarankan supaya menjalin hubungan dengan diri sendiri, dengan mengaktifkan perasaan cinta. Namun, apabila kebencian sudah menguasai, dia menyarankan supaya ikut kelas terapi.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, kita perlu bijaksana menyikapi perbedaan. Salah satu asas dalam Pemilu adalah bebas, yang bermakna penghargaan yang besar terhadap perbedaan pilihan. Menjadi netizen penghujat hanya akan menyengsaakan diri sendiri dan dalam skala yang besar dapat merusak sendi-sendi kebangsaan.
_______________
* Penulis adalah dosen pada Universitas Al azhar Indonesia (UAI) dan fasilitator Sekolah Pernikahan
COMMENTS