Oleh Herdi
Sahrasad, dosen Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Paramadina dan aktivis senior Gerakan 1998 [1]
Pasca krisis ekonomi 1997/1998, rakyat
Indonesia makin menderita.Lebih 20 tahun
reformasi, Neoliberalisme dan oligarkisme makin masif dan menggila. Harga sembako
merangkak naik dan jurang kaya-miskin makin tajam. Masa depan bangsa ini sangat
muram dan kehilangan harapan, korupsi merajalela dan oligakisme kapitalis
mencengkeram masyarakat dan negara. Indonesia dibayangi ‘’disintegrasi nasional’’atau
‘’keterpecahan.keterbelahan negara bangsa’’ yang makin nyata akibat
pemberlakuan fundamentalisme pasar
(Neoliberalisme ekonomi). Diperparah
oleh perang Rusia-Ukraina, tegangan Rusia-AS/Barat dan China-Taiwan, maka
krisis global mengancam mata rantai
pasokan pangan, energi dan barang komoditi lainnya.
Pasca reformasi 1998, di Indonesia muncul kalangan ”super kaya”. Laporan Kompas (18 Juni 2014) mendaftar kalangan
ini dengan terperinci: Mereka yang memiliki kekayaan Rp 1 triliun sampai Rp 2
triliun sebanyak 344.000 orang, Rp 2,5 triliun-Rp 10 triliun sebanyak 208.000
orang, Rp 10 triliun-Rp 50 triliun sebanyak 64 orang, dan Rp 50 triliun ke atas
13 orang. Semua ini kontras dengan pendapatan petani Rp 1 juta per bulan dan
upah minimum regional (UMR) Rp 2 juta per bulan. Sementara utang luar negeri
NKRI di era Jokowi mencapai Rp7000 trilyun atau bahkan lebih.
FOTO dari kiri ke kanan: Ir Suko Sudarso (mantan Komandan Barisan Soekarno / tokoh Sesepuh Nasionalis-GMNI ITB ), Anies Baswedan , Herdi Sahrasad, dan Rizal Ramli
Dalam hal ini, minoritas Tionghoa merupakan
lapisan elite yang paling kaya dan menguasai ekonomi nasional, meski jumlah mereka
hanya 2 persen dari jumlah penduduk, namun menguasai 80 persen kapital
nasional. Mereka sangat beruntung karena mampu survive dan berwirausaha,
sementara mayoritas bumiputera masih tertinggal dan miskin. Maka minoritas
Tionghoa dan mayoritas bumiputera harus mau bekerjasama, gotong royong, bahu
membahu membangun Indonesia yang lebih adil dan lebih baik. Kerjasama
antaranak-anak bangsa ini akan membuat NKRI damai, kuat
dan kokoh sebagai bangsa plural dan multilkultural.
Foto dari Kiri ke Kanan: Fathor R.Reinhard. MA, Muhamad Nabil MA, Dr Herdi Sahrasad, Vishnu Yuwono Sudarsono PhD, Andar Nubowo MA PhD Cand.
Untuk
kembali kepada cita-cita Proklamasi 1945
dan UUD45, serta Trisakti Bung Karno yakni berdikari (mandiri) ekonomi,
berdaulat politik dan berkepribadian dalam kebudayaan diperkuat dengan penghapusan
Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold menjadi Nol persen, maka
pemerintahan baru dan pemimpin baru hasil Pilpres masa kini dan masa depan harus komit, berani dan cerdas mengambil kebijakan yang
adil dan berpihak kepada rakyat yaitu:
Pertama, Bumi, air dan seluruh kekayaan yang
ada di dalamnya (tambang, mineral, hutan, sumber daya laut) di wilayah Indonesia, harus dikuasai negara (BUMN) dengan saham minimal 55 persen
dan itu diputuskan dengan kebijakan negara/undang-undang.
Kedua, melalui kebijakan Negara yang berpihak
pada kepentingan rakyat banyak, maka
seluruh Aset para konglomerat yang diuntungkan Orde Baru maupun orde
Reformasi harus kembali dikuasai, dikelola atau diserahkan kepada Negara, dan dimanfaatkan oleh Negara dengan saham minimal
55 persen bagi keadilan dan kesejahteraan rakyat. Tidak boleh ada segelitintir orang terkaya tamak di tengah lautan kemiskinan rakyat kita,
itulah Sosialisme-Demokrasi ala Indonesia yang diimpikan Soekarno-Hatta-Sjahrir
dan para pendiri bangsa.
Ketiga, tanah,
sumber daya alam, sumber daya finansial/kredit perbankan dan kapital
harus dikuasai Negara dan berdasarkan affirmative policy, dialokasikan
bagi kaum bumiputera agar kaum pribumi bisa menjadi tuan rumah di negeri
sendiri. Di sini reformasi agraria yang nyata/hakiki untuk rakyat banyak harus dilaksanakan. Malaysia bisa jadi sekedar contoh di Asia Tenggara dengan kebijakan
afirmatifnya bagi rakyat pribumi.
Keempat, mengingat besar dan luasnya wilayah
Sabang-Merauke (setara London-Teheran)
dimana peningkatan jumlah penduduk sudah berlipat kini menjadi sekitar 300 juta orang dari 135 juta orang pada
1980-an dengan banyaknya alumni perguruan tinggi yang menganggur atau miskin, maka perlu secepatnya dipikirkan/dilaksanakan
implementasi strategi pembangnan dengan pembagian tiga wilayah dalam NKRI yakni wilayah Negara Indonesia
Barat, Negara Indonesa Tengah dan Negara Indonesia Timur untuk meng-efektifkan pembangunan yang adil
dan merata, beradab dan setara untuk
mewujudkan keadilan sosial dan integrasi nasional yang kokoh dan kenyal . Di sini
perlu pelembagaan federasi secara kultural dalam bingkai NKRI dimana ada Perdana
Menteri (Perdam atau Waperdam) beserta jajaran menterinya masing-masing
untuk Negara Indonesia Barat
(Jawa-Sumatera Riau Kep, Bali -Madura), Negara Indonesa Tengah (Kalimantan ) dan Negara Indonesia Timur (Sulawesi ,Maluku, Papua) di luar pemerintahan
Pusat (Jakarta) dimana partisipasi politik ini diperluas untuk semua/segala
anak bangsa di daerah masing-masing tsb, sebab merekalah yang dianggap paling
memahami kebutuhan dan aspirasi masyarakat setempat. Sehingga masing-masing
pemimpin (Perdana MEnteri atau Wakil Perdana Menteri NI-Barat, NI-Tengah dan NI-Timur) kawasan-kawasan itu bisa bekerja efektif, produktif dan
inovatif/kreatif dengan merekrut jajaran personilnya yang kredibel, kapabel, energik,
kreatif dan sinergis guna melakukan transformasi sosial dan perubahan yang
lebih adil, lebih maju dan lebih baik. Di sini banyak anak muda terpelajar bisa
jadi menteri Negara bagian dan perdana menteri Negara bagian (NI-Barat,NI-Tengah,
NI-Timur) sehingga tak mengalami alienasi, frustasi,anomie dan kekecewaan massal
karena bisa terakomodasi dalam sistem ekonomi-politik yang baru tsb.
Presiden baru dan pemerintahan baru harus
berani melaksanakan visi-misi tersebut di atas sesuai Cita-Cita Proklamasi 1945
dimana 0ne for all, and All for 0ne) untuk masa depan negara dan bangsa agar
keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, bisa tumbuh berkembang di masa depan.
Hanya dengan cara demikian, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sarat dengan kesenjangan dan
ketidakadilan serta pengrusakan alam lingkungan, bisa dibangkitkan/dibangun
kembali dan dijaga serta dipertahankan
di era globalisasi, sekarang dan mendatang.\
KABINET AHLI PRO-RAKYAT, BERMORAL-ETIK DAN BERINTEGRITAS
Tatkala susunan Kabinet
diumumkan oleh Presiden Joko Widodo 2014 dan 2019, saya ingat era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Oktober 2004
an 2014, dimana masyarakat madani (civil society) mencium kuat ‘’gelagat tidak sehat’’ dalam prosesi pembentukan kabinet yang diwarnai tarik-ulur kepentingan
partai-partai politik dan golongan.
Molornya jadwal pengumumankabinet
yang diharapkan rakyat bakal bisa memecahkan masalah dan mengatasi
krisis multi dimensi - , menandai awal pemerintahan yang transaksional dan
meragukan.
Mengapa? Karena Kabinet SBY (dan kemudian juga kabinet ) Jokowi ternyata bukan ‘’Kabinet
Ahli’’ (the dream team) yang memiliki
kapasitas ‘’problem solving’’, melainkan justru ‘’Kabinet Politik/Partai’’
alias ‘’Kabinet Dagang’ Sapi’ yang tidak kredibel, bermasalah dan meragukan. Sekedar misal, ada anggota kabinet
yang ngemplang utang bermilyar-milyaran rupiah, ada juga yang tolah-toleh,
terlibat KKN dan berwatak dagang meski sudah menduduki jabatan menteri. Ada pula menteri yang
cuma ‘mesam-mesem’, ‘dangkal dan
asal’ berwacana. Sehingga ipso facto
Kabinet Jokowi (sama dengan Kabinet SBY) mengalami ‘asasinasi karakter’ dan ‘kemerosotan legitimasi ’ dengan sendirinya.
Sebagaimana ekspose media massa,
rezim SBY juga Jokowi telah gagal
memenuhi harapan rakyat yang menginginkan terbentuknya ‘’Kabinet Ahli’’ yang
kompeten, kredibel dan non-partisan. Bagaimanapun rakyat secara mutlak telah memberikan amanah (suara)
untuk SBY dan Jokowi dalam pemilihan
presiden dimana SBY pada 2004/2009
dan Jokowi pada 2014 dan 2019. Dan
amanah itu hendaknya tidak disia-siakan agar tidak kuwalat, karena inilah
‘’modal sosial’’, meminjam Francis Fukuyama, yang sangat bernilai dan sangat stretegis, baik secara politik, ekonomi maupun moral-spiritual
.
Sayang, celakanya, kabinet
jokowi pun, seperti halnya SBY, tak
lebih sekedar ‘’Kabinet Partai’’ yang kompromistis dan bertentangan dengan
kebutuhan rakyat akan ‘’kabinet kerja’’ yang
efektif, tangguh, profesional dan kredibel. Akibatnya, sedari awal,
kabinet kerja menuai kritik dan sinisme dari kalangan civil society, bahkan
‘’perlahan tapi pasti’’ kepercayaan
publik dan pasar pun terus tergerus. Buktinya
realitas nilai rupiah sempat tembus Rp15 800/dollar AS dan Indeks Harga
Saham Gabungan sempat terpuruk, yang oleh pada akademisi disebut sebagai sinyal muram, meski tidak
separah krisis 1997- , namun sifat dasarnya sama yakni merosotnya ekonomi rakyat dan kohesi sosial.
Presiden Jokowi dan
siapapun harus menyadari bahwa beliau dinilai
civil society telah menyia-nyiakan
‘’kesempatan emas’’ untuk membentuk ‘’the dream team’’ yang bisa
mengatasi krisis ekonomi, hukum dan keamanan secara simultan, energik dan
efektif.
Kini sesudah lebih satu periode era Jokowi berkiprah, hemat kami
Jokowi harus merenungkan kembali apakah kinerja dan langkahkabinetnya sudah sesuai dengan visi, misi dan
programnya yang ‘’di-ikrar-kan’’ selama
kampanye pemilihan presiden tahun lalu. Selain itu, harus ada evaluasi dan
assessment dari presiden: adakah menteri
ekuin yang bisa mengatasi krisiscash
flow APBN yang sangat vital bagi
stabilisasi moneter dan ekonomi nasional
serta penguatan kurs rupiah? Jika
hal itu ditanyakan kepada Ir Suko Sudarso sebagai sesepuh nasionalis, maka sebagai sosok sepuh yang tetap perduli dan komit kepada bangsa dan
negeri ini, Beliau sanggup menghadirkan
‘’tim anak bangsa’’ yang mampu mengatasi
krisis cash flow APBN dan mengatasi krisis ekonomi itu tanpa harus
ngutang gila-gilaan.
Penulis sendiri menyadari sepenuhnya bahwa rakyat kita sudah
terlalu berat menanggung beban utang negara dan swasta lebih Rp7000 trilyun
utang Negara dan konon sedikitnya US$150 milyar utang Swasta, yang
menjerumuskan bangsa ini ke dalam jebakan utang (debt trap). Rakyat kita akhirnya harus terus berjuang dan
bekerja, karena seperti petuah Perdana Menteri Sjahrir, hidup yang tak pernah
dipertaruhkan, tak kan pernah dimenangkan.
Sungguh berat rakyat/bangsa kita menapak ke depan tanpa kinerja
pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa. Rakyat kita sungguh butuh
kepemimpinan nasional yang ambeg paramarta, yang ditopang civil society
dan TNI dan kelompok-kelompok strategis dengan karakter humanis, asih-asah-asuh
dan mengayomi, Dewasa ini lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif sudah
disfungsional, sedangkan dominasi Oligarkisme-Neoliberalisme-Otoriterisme makin
mencekam.
Pada akhirnya martabat manusia Indonesia, human dignity, kini
dipertaruhkan oleh rezim yang berkuasa,
yang sangat mungkin justru menyudutkan rakyat kita yang relative tak berdaya,
nerimo, bijak dan tahan dalam penderitaan dan nelangsa sejak lama. Oleh sebab
itu, re-compound atau transformasi sosial yang mendasar, revolusi damai,
mungkin diperlukan untuk mewujudkan perubahan ke depan. ***
[1]Tulisan ini diolah dari diskusi dengan mantan Komandan Barisan Soekarno/tokoh GMN- ITB Ir Suko Sudarso dan Dr Herdi Sahrasad (akademisi Universitas Paramadina/ HMI dan anggota INDEMO pimpinan Dokter Hariman Siregar) dan Nehemia Lawalata SE, tokoh GMNI Indonesia Timur dan mantan Wakil Sekjen PA-GMNI beberapa tahun lalu untuk suatu bahan diskusi di Founding Fathers House, Jakarta 2019. Dalam hal ini, Terimakasih atas diskusinya dengan tokoh Malari 1974 Dr Hariman Siregar, tokoh Dema ITB 1977/78 DR Rizal Ramli, ahli filsafat UI Prof Suryanto Puspowardoyo , Dr Yudi Latif, Bursah Zarnubi, dan Dr Didit D. Heryono Gunawan ( dosen Fisip UI, aktivis GMNI), Ariady Achmad, Bennie Akbar Fatah, Niko Adrian, Paulus Yanuar mantan Ketum PMKRI, Chotibul Umam Wiranu MSi, Dr Ir Indra Iskandar MSi, B Wiwoho, Dr Anthony Budiawan,Fathor R.Reinhard. MA, Muhamad Nabil MA, Dr Herdi Sahrasad, Vishnu Yuwono Sudarsono PhD, Andar Nubowo MA PhD Cand. dan para aktivis muda HMI, GMNI, IMM, GMKI, PMKRI, NU/GP Ansor, POPULIS dan mahasiswa Unair/Universitas Riau/Paramadina/UI/ Unsri/UIN Syarif Hidayatulah yang memperkaya risalah ini.