KONFRONTASI Berbagai kalangan masyarakat kembali kecewa dan merasa terkecoh dengan pernyataan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat yang meminta Refly Harun dan kawan-kawannya untuk membaca dan memeriksa kembali 17 putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (Pres-T).
Tokoh nasional yang juga begawan ekonomi Rizal Ramli (RR) menanggapi sikap MK itu dengan kecewa,'' Ini Hakim-hakim MK congkak dan sok jago amat ya . Logika ndak lurus, setuju nominasi berdasar hasil 5 tahun yang lalu,'' tegas RR
'' Threshold tidak ada di UUD45, dan threshold itu , basis demokrasi kriminal,'' imbuh RR, Menko Ekuin Presiden Gus Dur
''Apakah Arif Hidayat ini secara moral masih layak menjadi hakim MK?,'' tanya seorang netizen
Ada respon netizen lainnya: ''Hakim hakim MK tolong anda akan diminta pertanggung jawaban di Akhirat, keputusan ini gak menyangkut 1 atau sekelompok orang saja, tapi menyangkut Bangsa, akan berat pertanggungan jawab anda di Akhirat kelak...''
Menurut Arief, membaca dan memeriksa kembali 17 putusan MK i penting agar pemohon bisa memperkuat argumentasi permohonan dan legal standing-nya sehingga tidak mengalami nasib yang sama dengan permohonan uji materi presidential threshold sebelumnya.
Refly Harus Cs merupakan kuasa hukum dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Joko Yuliantono dalam perkara Nomor 66/PUU-XIX/2021. Perkara ini terkait uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang mengatur presidential threshold.
Menurut Refly Harun, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), telah terbukti mengurangi atau membatasi hak konstitusional untuk memilih (right to vote) pemohon dalam pemilihan presiden/wakil presiden. Untuk itu, kata dia, harus dipandang sebagai sebuah kerugian konstitusional.
Refly menambahkan, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan beberapa pasal dalam Undang‑Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 6 ayat (2) Undang‑Undang Dasar 1945, Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), kemudian Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), Pasal 28J ayat (2) Undang‑Undang Dasar Tahun 1945.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Dr Burhanuddin Muhtadi menegaskan, dalam UUD 1945 (Konstitusi ) tidak ada presidential threshold dan oleh sebab itu, Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold harus dihilangkan, dihapuskan. Ambang batas pencalonan presiden atau presidential adalah hal tidak lazim bagi negara penganut sistem presidensial seperti Indonesia.
(berbagai sumber)