Konfrontasi - Nahdlatul Ulama mengecam peristiwa pemindahan dua jenazah gara-gara perbedaan pilihan politik dalam pemilu di Gorontalo. Keluarga jenazah berbeda pilihan calon anggota legislatif atau caleg dengan pemilik lahan permakaman meski mereka sesungguhnya masih berkerabat.
Menurut Robikin Emhas, Ketua Pengurus Besar NU, kabar memilukan itu mengoyak rasa kemanusiaan. Politik, katanya, yang semestinya dapat menjadi sarana untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan malahan sebaliknya. “Justru mematikan rasa kemanusiaan itu sendiri,” katanya dalam keterangan tertulisnya pada Minggu, 13 Januari 2019.
Mereka yang bersengketa atau menjadi tak akur hanya karena berbeda pilihan politik, menurut Robikin, ditengarai memahami politik hanya sebagai sarana mendapatkan kekuasaan, tidak penting bagaimana cara meraihnya.
Kecenderungan menggunakan segala cara untuk politik itu tak hanya terjadi pada pemilihan caleg, sebagaimana kasus pemindahan jenazah ke kuburan lain di Gorontalo. Kecenderungan serupa juga terjadi dalam pemilu presiden, di antaranya politisasi agama, penggunaan kabar bohon atau hoax sebagai mesin elektoral.
“Seakan tak peduli dampak yang ditimbulkan, hubungan kekerabatan pecah, persahabatan retak, tetangga dikategorikan sebagai lawan. Semua disandarkan satu hal: kesamaan pilihan politik,” katanya.
Sebagai pesta demokrasi, dia mengingatkan, pemilu seharusnya menjadi kegembiraan nasional; layaknya pesta yang tak perlu ada satu pun gelas pecah. Dia berharap peristiwa semacam itu tak terulang lagi. “Toh, politik adalah sarana pemanusiaan manusia,” katanya.